Bagikan:

JAKARTA - Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mendapat respon positif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Namun perlu beberapa catatan dalam implementasinya.

Kepala Sub Divisi KBGO SAFEnet Ellen Kusuma memandang implementasi UU TPKS oleh aparat penegak hukum harus benar-benar berpihak kepada korban sehingga persoalan kekerasan seksual dapat diatasi dengan maksimal.

“Sekarang, karena kita sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kita membutuhkan implementasinya yang benar-benar berpihak pada korban. Misalnya, terkait dengan kekerasan berbasis gender online (KBGO), Pasal 14 UU TPKS memuat tentang kekerasan seksual berbasis elektronik. Pasal tersebut memuat perihal penindakan terhadap ancaman penyebaran konten intim dan pelacakan terhadap penguntitan. Jadi, tindakan-tindakan itu bisa dikenakan dengan UU TPKS,” kata Ellen dikutip Antara, Jumat 15 April.

Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam webinar Kajian Ramadhan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah bertajuk Perempuan dan Kesalehan Digital.

Selain itu, Ellen juga menyampaikan terkait dengan perlindungan lain di samping implementasi UU TPKS yang dibutuhkan oleh para korban kekerasan seksual, terutama para perempuan.

Dia mengatakan negara perlu memberikan kepastian hukum yang tidak bias kepada perempuan.

“Kepastian hukum tersebut dapat diberikan melalui penerapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum,” kata Ellen.

Perma tersebut memberikan dasar tentang konsep kesetaraan gender, seperti mengatur cara hakim berperilaku dalam persidangan perkara yang dihadapi oleh perempuan.

Lalu, peraturan ini juga mengatur tentang hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh hakim saat memeriksa dan mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Hal-hal tersebut adalah ada atau tidaknya ketidaksetaraan status sosial, ketidakberdayaan fisik, relasi kuasa, riwayat kekerasan, dan dampak psikis.

Di samping itu, perma ini pun melarang hakim untuk menunjukkan sikap ataupun membuat pernyataan yang bias gender, membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan, dan menanyakan riwayat seksual korban.

Perma Nomor 3 Tahun 2017 bahkan memberikan kesempatan pada korban perempuan untuk memiliki pendamping di persidangan dengan alasan-alasan tertentu.