Amnesty Internasional Indonesia: UU Cipta Kerja Berpotensi Timbulkan Krisis Hak Asasi Manusia
Ilustrasi demo RUU Cilaka (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR menimbulkan reaksi banyak pihak. Salah satunya adalah organisasi pemerhati hak asasi manusia, Amnesty International Indonesia.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak DPR merevisi poin aturan yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Sejumlah pasal tersebut, kata dia, berpotensi menimbulkan krisis HAM.

"Kami mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Ciptaker. Jangan sampai pengesahan ini menjadi awal krisis hak asasi manusia baru, di mana mereka yang menentang kebijakan baru dibungkam," tutur Usman dalam keterangannya, Selasa, 6 Oktober.

Ada sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja yang disorot Usman karena dianggap berpotensi melanggar hak asasi para pekerja. 

Pasal 88B

Pertama, Pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan sistem upah per satuan waktu dan satuan hasil.

"Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum," ucap Usman.

 

Pasal 91

Kemudian, UU Cipta Kerja menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan. Pasal yang dihapus adalah pengaturan pengupahan kesepakatan antara pengusaha dan buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pasal yang dihapus, ada aturan bahwa jika persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha akan mendapat sanksi. 

Kata Usman, menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang. 

"Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya," tuturnya.

Pasal 59

Kemudian soal penghapusan aturan mengenai jangka waktu kerja untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dalam Pasal 59.

Aturan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Di sini, Usman mengkhawatirkan PP yang berupa aturan teknis justru merugikan buruh karena menghilangkan kepastian kerja sebagai pekerja tetap.

"Aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap," ungkap Usman.

Pasal 77 

Aturan bermasalah dalam Pasal 77 ayat (2) yang juga disorot adalah pembolehan kepada pengusaha agar bisa memberlakukan waktu kerja yang melebihi batas untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu.

Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP). 

"Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain," jelasnya.