Bagikan:

JAKARTA - DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna hari ini, Selasa, 12 April.

Ketua Panja RUU TPKS, Willy Aditya mengatakan UU ini memberikan keuntungan, yang pertama berpihak pada korban. Kedua, aparat penegak hukum memiliki legal standing yang selama ini belum ada di setiap jenis kasus kekerasan seksual.

"Ketiga ini adalah kehadiran negara bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut dengan fenomena gunung es," katanya.

Politikus NasDem itu juga mengatakan, UU ini hadir juga dengan adanya dana bantuan korban.

DPR dan pemerintah sendiri sudah menyepakati tiga hak yang akan diterima oleh korban kekerasan seksual, yakni hak penanganan, pelindungan, dan pemulihan. Hak atas korban kekerasan seksual itu tercantum dalam DIM RUU TPKS pasal 47 hingga pasal 48.

Berikut ini bunyi pasal-pasal dalam DIM tersebut.

"Setiap korban berhak atas atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dalam proses keadilan," bunyi pasal 47 dalam DIM tersebut.

Kemudian di pasal 48 ayat 1 disebutkan hak tersebut adalah penanganan, perlindungan, hingga pemulihan. Sedangkan ayat 2 menyebut hak korban itu merupakan kewajiban negara.

"Hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan," bunyi pasal 48 ayat 1.

"Pemenuhan hak korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban," pasal 48 ayat 2.

Sementara hak penanganan, diatur dalam Pasal 49 Ayat 1, meliputi hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan; hak mendapatkan dokumen hasil penanganan; dan hak atas pendampingan dan layanan hukum.

Kemudian, hak atas penguatan psikologis; dan hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis.

Wamenkumham Edward OS Hiariej mengatakan hak atas layanan hukum yang di dalamnya bisa termasuk pendampingan. Hak-hak itu bisa didapat sejak terjadinya tindak pidana.

"Jadi agar tidak menimbulkan interpretasi, perlu diberikan penjelasan, layanan hukum antara lain bantuan hukum, konsultasi hukum, dan pendampingan hukum," ujar Eddy.

Termasuk, hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik. Hak tersebut dimaksudkan agar konten seksual korban yang tersebar tak dapat diakses oleh publik kembali.

Selanjutnya, hak pelindungan yang diatur dalam Pasal 50 Ayat 1 meliputi penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan; penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan; pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain, serta berulangnya kekerasan; dan pelindungan kerahasiaan identitas.

Lalu, pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban; pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, dan/atau akses politik; dan pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas peristiwa tindak pidana kekerasan seksual yang ia laporkan.

Terakhir adalah hak pemulihan yang diatur dalam Pasal 51 Ayat 1, yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan/atau kompensasi, dan reintegrasi sosial.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyebut Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) mengatur dana pemulihan untuk korban kekerasan seksual.

"Negara hadir memenuhi hak korban atas dana pemulihan termasuk di sini layanan kesehatan saat korban mendapat pelayanan medis. Dana penanganan korban sebelum, selama proses hukum. Termasuk pembayaran kompensasi untuk sejumlah restitusi," katanya.