JAKARTA - Aktivis kepemudaan Arief Rosyid Hasan resmi dipecat dari kepengurusan dan keanggotaan Dewan Masjid Indonesia (DMI) karena memalsukan tanda tangan Jusuf Kalla. Aksi tersebut mendapat kecaman dari sejumlah kalangan.
Salah satunya dari mantan Sekjen Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Sedek Rahman Bahta. Dia menyayangkan apa yang dilakukan Arief Rosyid Hasan selama duduk di lembaga yang mengayomi masjid.
“Secara garis besar kami sangat menyayangkan apa yang dilakukan oleh Saudara Arief Rosyid. Apalagi tindakan itu dilakukan di lembaga kemasjidan. Dewan Masjid Indonesia itu kan lembaga yang mengayomi seluruh masjid di republik ini, ini yang tidak patut terjadi," ujar Sedek kepada awak media, Minggu, 10 April.
Sedek mengapresiasi Dewan Masjid Indonesia yang segera mengambil tindakan tegas kepada Arief Rosyid Hasan dan berharap tindakan tersebut memiliki konsekuensi hukum.
“Kami mengapresiasi langkah pemecatan dan evaluasi yang dilakukan DMI. Di ranah hukum pidana ini termasuk delik aduan. Jadi yang merasa dirugikan yang bisa melaporkan hal itu,” jelas Sedek.
BACA JUGA:
Ia menambahkan, kasus pemalsuan tanda tangan ini jelas memunculkan keraguan atas integritas Arief Rosyid yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Independen Bank Syariah Indonesia (BSI). Hal ini selain merugikan BSI, kepercayaan publik terhadap bank tersebut juga menjadi taruhan.
“Pak Presiden melalui Menteri BUMN Erick Thohir kan merupakan pemegang saham mayoritas. Menteri BUMN tidak bisa lagi menutup mata. Untuk apa lagi membela dan mempertahankan Arief Rosyid!" tegas Sedek.
Meski demikian, Sedek yakin Menteri BUMN yang mengusung tagline AKHLAK sebagai core value semua perusahaan BUMN akan melakukan tindakan evaluasi yang tepat. “Kita tahu bahwa Pak Erick tidak akan mengambil resiko ini untuk membelanya. Langkah yang tepat kan pemegang saham sudah tahu. Misalnya, dicopot atau lainnya itu. Pemegang saham harus mengambil tindakan. Ini kan soal persepsi publik terhadap BSI. Menteri BUMN juga tidak boleh mendiamkan peristiwa ini karena khawatir disalahtafsirkan publik,” ujarnya.