JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut saat ini mayoritas negara di Asia, termasuk Indonesia sudah mendeteksi adanya kasus COVID-19 varian Omicron dengan subvarian BA.2. Subvarian ini dikenal dengan Omicron "siluman".
Penyebaran Omicron BA.2 ini, kata Budi menyebabkan lonjakan kasus COVID-19 di beberapa negara tersebut. Namun, kondisi ini tidak terjadi di Indonesia dan India.
"Di negara-negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, termasuk China dan Hongkong itu naiknya gara-gara varian BA.2. Di Indonesia agak berbeda polanya. Varian ini sudah dominan di Indonesia dan India. Tapi, dominannya varian BA.2 ini tidak terlihat dalam bentuk lonjakan kasus," kata Budi dalam tayangan Youtube Kementerian Kesehatan RI, dikutip Kamis, 24 Maret.
Di Indonesia, tren kasus COVID-19 justru menunjukkan penurunan meski subvarian BA.2 sudah merebak. Angka reproduksi kasus atau reproduction rate juga sudah mendekati 1.
"Kalau menurut perkiraan para epidemiolog, mungkin akhir bulan ini bisa kembali ke bulan Oktober November (2021), di mana kita reproduction rate-nya di bawah 1," ucap Budi.
Saat ini, pemerintah memang belum melakukan penelitian atas kondisi berbeda yang terjadi di Indonesia dan negara lain di Asia akibat penularan BA.2 tersebut.
Namun, Budi menduga hal ini terjadi karena Indonesia memulai vaksinasi COVID-19 yang lebih lambat dibandingkan negara yang saat ini kasusnya sedang naik karena penyebaran Omicron "siluman".
"Vaksinasi kita mulainya relatif lambat dibandingkan Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Kita baru masif melakukan vaksinasi di bulan September ke atas. Sehingga, level antibodi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia masih tinggi," urai Budi.
BACA JUGA:
Ditambah lagi, saat Indonesia mulai masif menggencarkan vaksinasi untuk masyarakat umum, periode lonjakan kasus akibat penularan varian Delta baru saja terjadi.
Banyaknya kasus infeksi yang telah sembuh dibarengi dengan masifnya vaksinasi ini, lanjut Budi, mengakibatkan kekebalan imunitas masyarakat Indonesia menjadi lebih kebal.
"Kombinasi dua imunitas ini membuat super immunity, imunitas yang memang kuat dan berdaya tahan lebih lama. Sehingga dengan demikian, pemerintah melihat kita harusnya bisa lebih melonggarkan protokol kesehatan kita," imbuh dia.