JAKARTA - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menganggap memperpanjang masa jabatan presiden merupakan upaya pemaksaan yang tidak tertib hukum.
Dia meminta pihak atau elite politik yang mendorong wacana itu berkaca kepada kasus Rektor UI yang melanggar konstitusi akhirnya disetujui merangkap jabatan dengan dasar peraturannya sudah disesuaikan.
"Kita ini sudah beberapa kali mengalami situasi di mana perilakunya salah, peraturannya diubah. Mungkin ingat peristiwa Rektor UI, PP [Peraturan Pemerintah Nomor 75/2021] nya yang diubah," ujar Bivitri dalam diskusi bertajuk 'Demokrasi Konstitusional Dalam Ancaman', Rabu 16 Maret.
Bivitri mengingatkan kasus Rektor UI itu bisa kembali dialami Indonesia apabila wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiga periode direalisasikan di Kompleks Parlemen Senayan atau Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dia mewanti-wanti, jangan sampai perilaku inkonstitusional tapi konstitusinya yang diubah.
"Jangan sampai sekarang ada sesuatu yang inkonstitusional, tapi konstitusinya yang diubah. Nah, ini yang saya kira juga disesatkan oleh logika yang salah bawa konstitusi itu hanya teks. Konstitusi itu bukan teks, tapi gagasan pembatasan kekuasaan," ujar Bivitri.
Menurut Bivitri, konstitusionalisme memiliki dua makna; pembatasan dan hak asasi manusia. Maka apabila memaksakan kehendak melanggar dua prinsip itu, dengan mencoba mengubah pasal dalam Undang Undang, dapat disimpulkan pihak itu melakukan tindakan inkonstitusional
"Sudah pengkhianatan konstitusi!" tegasnya.
BACA JUGA:
Sebelumnnya, wacana Pemilu 2024 ditunda datang dari Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Wakil Ketua DPR tersebut beralasan, kontestasi pemilu dapat berdampak buruk terhadap perbaikan ekonomi.
Cak Imin mengatakan wacana itu datang dari pelaku UMKM dan peneliti ekonomi yang ditemuinya di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.
"Dari kunjungan saya ke daerah dan melihat prospek yang positif ke depan ini, momentum yang baik-baik ini ke depan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, saya melihat tahun 2024 pemilu yang rencananya kita laksanakan bulan Februari itu, jangan sampai prospek ekonomi yang baik itu terganggu karena pemilu," ujar Cak Imin di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 23 Februari.
Gagasan tersebut kemudian disambut baik Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, serta Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan alias Zulhas.
Airlangga menyampaikan dukungannya terhadap perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi setelah melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Siak, Pekanbaru, Kamis 24 Februari. Dia mengatakan, menyerap aspirasi petani di Siak sehingga setuju wacana Jokowi tiga periode.
Setelah kunker itu, Airlangga membahas hal tersebut bersama petinggi Partai Golkar dalam rapat tertutup.
"Kami akan bicarakan aspirasi ini dengan pemimpin partai politik yang lain, dan bagi kami, bagi partai Golkar aspirasi rakyat adalah aspirasi partai, oleh karena kami akan terus menerima aspirasi rakyat dan tentu akan disalurkan," ujar Airlangga dalam keterangan tertulis.
Perpanjangan kekuasaan kepala negara kemudian disuarakan Zulhas. Dia berdalih, kondisi pandemi COVID-19, perekonomian yang masih belum stabil, peperangan Rusia dengan Ukraina, hingga tertundanya program pemerintah saat ini menjadi alasannya setuju jabatan Jokowi sebagai presiden diperpanjang.
"PAN setuju bahwa pemilu perlu dipertimbangkan untuk diundur," kata Zulhas, Jumat 25 Februari.
Terkini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim mengantongi big data berisi 110 juta warganet Twitter ingin Pemilu 2024 ditunda. Namun, hingga saat ini Luhut enggan membuka big data yang dimilikinya ke publik.
"Karena begini, kita punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah," ujar Luhut, dikutip dari kanal YouTube Deddy Corbusier.