Bagikan:

JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza mengaku dirinya baru mengetahui bahwa anak buahnya, yakni Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta Suzi Marsitawati diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI.

Suzi diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan mafia tanah atau korupsi pembebasan lahan di Cipayung, Jakarta Timur.

"Saya sama sekali belum mengetahui dan baru mendengar dari teman-teman media," kata Riza di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu, 16 Maret.

Riza menyebut pihaknya akan melakukan pendalaman secara internal terkait proses pembelian lahan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota di Cipayung yang memiliki kemahalan harga tersebut.

Namun, pada prinsipnya, Riza mengklaim jajaran Pemprov DKI bekerja melakukan pengadaan lahan untuk program pemerintah sesuai aturan yang berlaku.

"Sejauh yang saya tahu jajaran dinas apalagi pimpinan pasti mengetahui SOP, tahapannya, aturan, dan sebagainya, harus sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan," tutur Riza.

"Kami optimis jajaran kami tak hanya mengetahui, memahami dan melaksanakannya, tapi sangat teliti dalam proses pembelian," lanjutnya.

Diketahui, Suzi diperiksa oleh Kejati DKI pada Senin, 14 Maret lalu. Selain Suzi, Kejati DKI juga memeriksa mantan Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, Djafar Muchlisin, dan beberapa orang lainnya. Keduanya berstatus sebagai saksi dugaan korupsi dengan modus mark up tersebut.

Saat ini, tim penyidik Kejati DKI dan PPATK masih melakukan pendalaman terkait ada atau tidaknya aliran uang yang diterima oleh pihak Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI, yang menyebabkan terjadinya kerugian negara.

Dalam kasus ini, pada tahun 2018 Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI menggelontorkan sebesar Rp326.972.478.000 atau Rp326 miliar lebih untuk pembebasan lahan di Kecamatan Cipayung.

Anggaran ratusan miliar rupiah tersebut untuk kegiatan pembebasan tanah taman hutan, makam, dan RPTRA di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur.

Dalam pelaksanaannya, diduga ada kemahalan harga yang dibayarkan sehingga merugikan negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kurang lebih sebesar Rp26.719.343.153 atau Rp26 miliar lebih.

Kemahalan harga tersebut disebabkan, penganggaran dalam menentukan harga pasar tidak berdasarkan harga dari aset identik atau sejenis yang ditawarkan untuk dijual, sebagaimana diatur dalam metode perbandingan Data Pasar berdasarkan Standar Penilai Indonesia 106 (SPI 106).