JAKARTA - Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira, mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan soal data aspirasi rakyat yang menginginkan penundaan Pemilu 2024.
Dia pun mengingatkan semua pihak untuk tidak menjerumuskan Joko Widodo atas klaim yang memungkinkan jabatan presiden diperpanjang atau menunda pemilu.
"Hati-hatilah mengatasnamakan rakyat hanya untuk mempertahankan kekuasaan. Nanti rakyat marah," ujar Andreas lewat pesan singkat, Minggu, 12 Maret.
Andreas lantas menyinggung sejarah pada era Orde Baru. Anggota DPR RI Dapil NTT itu menjelaskan, Ketua MPR Harmoko pada 1997 melapor kepada Presiden kedua RI Soeharto.
Laporan tersebut berisi bahwa rakyat masih menghendaki Soeharto untuk dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI untuk periode ketujuh. Namun, berselang setahun semua berubah. Harmoko pada 1998 yang mengetok palu memberhentikan Soeharto sebagai Presiden RI setelah jenderal besar itu mengundurkan diri pada 22 Mei 1998.
"Mari kita belajar dari sejarah. Jangan melanggar konstitusi hanya untuk mempertahankan kekuasaan," kata Andreas mengingatkan.
Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan berbicara tentang wacana penundaan pemilu hingga jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diperpanjang. Luhut mengklaim punya data aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan penundaan Pemilu 2024.
Hal itu disampaikan Luhut dalam podcast #closethedoor di channel YouTube Deddy Corbuzier, seperti dilihat, Jumat, 11 Maret.
BACA JUGA:
Dalam perbincangannya dengan Deddy, Luhut menjelaskan pihaknya memiliki big data yang isinya merekam aspirasi publik di media sosial soal Pemilu 2024.
"Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah," kata Luhut.
Dari data tersebut, Luhut menjelaskan masyarakat kelas menengah ke bawah ingin kondisi sosial politik yang tenang. Masyarakat, kata Luhut, tak ingin gaduh politik dan lebih menginginkan kondisi ekonomi ditingkatkan.
"Kalau menengah ke bawah ini, itu pokoknya pengin tenang, pengin bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin. Kemarin kita kan sakit gigi dengan kampret-lah, cebong-lah, kadrun-lah, itu kan menimbulkan tidak bagus. Masa terus-terusan begitu," jelasnya.
Masih dari big data yang diklaim Luhut, dia mengatakan rakyat Indonesia mengkritisi dana Rp 100 triliun lebih untuk Pemilu 2024. Dana ratusan triliun ini memang diajukan KPU kepada DPR-pemerintah.
"Sekarang lagi gini-gini, katanya, kita coba tangkap dari publik (dari data-data tersebut), ya itu bilang kita mau habisin Rp 100 triliun lebih untuk milih, ini keadaan begini, ngapain sih, ya untuk pemilihan presiden dan pilkada, kan serentak," ucapnya.
Luhut mengatakan seharusnya aspirasi publik soal keengganan menggelar Pemilu 2024 ditangkap oleh partai. Menurut dia, seharusnya partai mempertimbangkan serius aspirasi penundaan pemilu ini.
"Ya itu rakyat ngomong. Nah, ceruk ini kan ada di Partai Demokrat, ada di Partai Gerindra, PDIP, ada yang di PKB, ada yang di Golkar, ada di mana-mana ceruk ini. Ya nanti kan dia akan lihat, mana yang mendengar suara kami," sambungnya.
Luhut mengklaim banyak contoh negara lain menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden. Namun Luhut menegaskan sikap Presiden Jokowi soal wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, yaitu tetap taat pada konstitusi.