Saat Luhut Klaim Big Data Penundaan Pemilu, Fadli Zon Justru Sindir Perpanjangan Masa Jabatan Menko Marves
Fadli Zon/Antara

Bagikan:

JAKARTA - Klaim Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan soal data aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan penundaan Pemilu 2024 disinggung Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon.

Fadli Zon mempertanyakan big data tentang aspirasi publik di media sosial yang diklaim Menko Luhut dalam kanal YouTube Deddy Corbuzier. Big data ini sebelumnya pernah disebut pencetus penundaan Pemilu 2024, yakni Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.

Menurut Fadli Zon, Menko Luhut perlu membeberkan data yang dimiliki itu ke publik. Sehingga kata dia, publik bisa menganalisa keabsahan dari data yang menjadi referensi tersebut.

“Sebaiknya diungkap ke publik datanya agar tak terkesan sedang menghalalkan segala cara untuk tujuan pelanggaran konstitusi,” ujar Fadli lewat akun Twitter pribadi, Sabtu, 12 Maret.

Mantan Wakil Ketua DPR RI ini lantas menyindir Luhut. Fadli menilai, justru mungkin Luhut yang paling berkepentingan dengan wacana agar bisa lebih lama menjabat sebagai menteri koordinator.

“Kelihatannya yang perlu ditunda atau diperpanjang adalah jabatan Menko Marves,” sindirnya.

Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan berbicara tentang wacana penundaan pemilu hingga jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diperpanjang. Luhut mengklaim punya data aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan penundaan Pemilu 2024.

Hal itu disampaikan Luhut dalam podcast #closethedoor di channel YouTube Deddy Corbuzier, seperti dilihat, Jumat, 11 Maret.

Dalam perbincangannya dengan Deddy, Luhut menjelaskan pihaknya memiliki big data yang isinya merekam aspirasi publik di media sosial soal Pemilu 2024.

"Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah," kata Luhut.

Dari data tersebut, Luhut menjelaskan masyarakat kelas menengah ke bawah ingin kondisi sosial politik yang tenang. Masyarakat, kata Luhut, tak ingin gaduh politik dan lebih menginginkan kondisi ekonomi ditingkatkan.

"Kalau menengah ke bawah ini, itu pokoknya pengin tenang, pengin bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin. Kemarin kita kan sakit gigi dengan kampret-lah, cebong-lah, kadrun-lah, itu kan menimbulkan tidak bagus. Masa terus-terusan begitu," jelasnya.

Masih dari big data yang diklaim Luhut, dia mengatakan rakyat Indonesia mengkritisi dana Rp 100 triliun lebih untuk Pemilu 2024. Dana ratusan triliun ini memang diajukan KPU kepada DPR-pemerintah.

"Sekarang lagi gini-gini, katanya, kita coba tangkap dari publik (dari data-data tersebut), ya itu bilang kita mau habisin Rp 100 triliun lebih untuk milih, ini keadaan begini, ngapain sih, ya untuk pemilihan presiden dan pilkada, kan serentak," ucapnya.

Luhut mengatakan seharusnya aspirasi publik soal keengganan menggelar Pemilu 2024 ditangkap oleh partai. Menurut dia, seharusnya partai mempertimbangkan serius aspirasi penundaan pemilu ini.

"Ya itu rakyat ngomong. Nah, ceruk ini kan ada di Partai Demokrat, ada di Partai Gerindra, PDIP, ada yang di PKB, ada yang di Golkar, ada di mana-mana ceruk ini. Ya nanti kan dia akan lihat, mana yang mendengar suara kami," sambungnya.

Luhut mengklaim banyak contoh negara lain menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden. Namun Luhut menegaskan sikap Presiden Jokowi soal wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, yaitu tetap taat pada konstitusi.