Bagikan:

MAKASSAR - Penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulawesi Selatan menangkap lima orang tersangka kasus dugaan korupsi penggelembungan (mark up) pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Ibu Anak Siti Fatimah di Jakarta.

Direktur Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Sulsel Kombes Widoni Fedry mengatakan penangkapan lima orang tersangka ini karena memang mereka bermukim di Jakarta dan kasusnya akan segera dirampungkan.

"Lima orang itu kami amankan karena mereka berdomisili di Jakarta. Ini juga untuk memudahkan proses pelimpahan nantinya karena dikhawatirkan mereka akan melarikan diri," ujarnya dikutip Antara, Kamis, 10 Maret.

Dia mengatakan lima orang tersangka tersebut berinisial R, A, S, A, dan L. Tiga dari lima orang tersangka itu adalah penyedia alat kesehatan.

Kombes Pol Widoni menyatakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara lebih dari Rp93 miliar tersebut sebanyak 10 orang dan lima di antaranya berdomisili di Jakarta.

Sementara lima tersangka lainnya merupakan kelompok kerja (Pokja) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) lingkup Pemprov Sulsel. Meski demikian, Widoni enggan mengungkapkan lima tersangka dari lingkup Pemprov Sulsel tersebut.

"Lima orang tersangka lainnya itu dari Pokja dan PPK provinsi," tuturnya.

Widoni menambahkan tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka bertambah. Meski demikian, hal tersebut tergantung dari pengembangan penyidikan.

"Bisa jadi bertambah tersangkanya tergantung hasil penyidikan nanti itu bisa berkembang," ucapnya.

Direktur Lembaga Antikorupsi (Laksus) mengapresiasi kinerja Polda Sulsel dalam memberantas korupsi yang dinilainya cukup cepat dan berhasil menangani perkara tersebut.

"Ini menjadi bukti keseriusan Polda sulsel dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan RS Fatimah. Semoga polisi juga bisa menangani perkara lainnya karena masih ada banyak kasus lainnya yang harus ditangani," katanya.

Dalam penanganan perkara tersebut, pihaknya berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena perkara tersebut menggunakan anggaran yang sangat besar dengan kerugian mencapai Rp9,3 miliar lebih berdasarkan hasil.audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).