Laporan Kekerasan Anak ke KemenPPA Terkendala Proses di Masa Pandemi
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan, pelaporan kasus kekerasan tehadap anak selama masa pandemi COVID-19 mengalami penurunan. Hal itu disebabkan terkendala proses mekanisme pelaporan.

"Pelaporan tersendat karena ada beberapa kantor layanan tidak membuka layanan tatap muka, layanan diperketat, dan sistem pelaporan online terus disesuaikan," ucap Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar kepada VOI, Rabu, 16 September.

Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (Simfoni PPA), kasus kekerasan di awal masa pandemi hingga 10 Juni hanya dilaporkan 908 kasus.

Sedangkan, jika merujuk pada data di awal Januari hingga 28 Februari jumlah kekerasan yang dilaporkan sebanyak 2.141 kasus.

"Dari 2.141 kasus (1 Januari-28 Februari) menjadi 3.049 di 10 Juni," kata Nahar.

Sementara, pada bulan berikutnya pelaporan terkait kekerasan anak pelan-pelan mengalami peningkatan. Sejak 10 Juni hingga 8 September, kekerasan anak yang dilaporkan berjumlah 2.236 kasus.

"Di awal pandemi pelaporan agak tersendat dan Juli, Agustus laporannya mulai banyak yang masuk jadi angkanya terus bertambah," ungkap dia.

Dengan masih terjadinya kekerasan terhadap anak, kata Nahar, pihaknya sudah melakukan langkah-langkah pencegahan. Beberapa di antaranya meningkatkan layanan-layanan konsultasi bagi orang tua. 

"Pencegahan melalui penyempurnaan regulasi, membuat Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), sosialisasi dan membuka layanan-layanan konsultasi. Kemudian, penyediaan layanan baik online maupun offline," ungkap dia.

Langkah pencegahan lainnya dilakukan dengan mengoptimalkan penanganan kasus kekerasan dengan cepat. Sebab, biasanya para pelaku kekerasan juga merupakan korban di masa lalu.

"Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan di pusat dan daerah dg melatih SDM, optimalisasi manajemen kasus yang dilaksanakan secara cepat, kompehensif, dan terintegrasi," ujar dia.

Baru-baru ini, ada kasus penganiayan yang dilakukan seorang ibu bernama Lia Handayani (26) kepada anaknya, KS, yang berusia delapan tahun. Lia menganiaya karena kesal melihat sang anak kesulitan belajar online.

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 26 Agustus pagi, sekitar pukul 09.00 WIB. Lia awalnya mencubit dan memukul lebih dari lima kali menggunakan gagang sapu hingga KS tersungkur ke lantai.

Beberapa waktu berselang, suami Lia, Imam Safi'e, pulang ke rumah dan kaget melihat KS dalam kondisi lemas. Lia panik dan mengajak Imam ke luar rumah, beserta saudara kembar KS, dengan tujuan mencari udara segar dan membawa KS ke rumah sakit.

Namun nahas, KS meninggal dunia di tengah perjalanan. Lia dan Imam kemudian memasukkan jenazah KS ke dalam kardus dan membawanya ke kampung halaman untuk menghilangkan jejak kematian sang anak. 

Setelah tiba di kampung halaman, Lia dan Imam menguburkan anaknya secara diam-diam di tempat pemakaman umum (TPU) Desa Cipalabuh Kecamatan Cijaku Kabupaten Lebak, yang juga merupakan kuburan neneknya.

Ada warga yang mencurigai gundukan kuburan KS yanga masih baru. Setelah dibongkar, ternyata warga menemukan jasad KS yang masih mengenakan pakaiannya. Warga pun melapor kepada kepolisian.

Pada Minggu, 13 September lalu, Lia dan Imam ditangkap di kontrakan barunya di Jakarta. Sementara, saudara kembar almarhum KS dititipkan untuk diasuh oleh saudaranya.