Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR angkat bicara merespons sikap Dirut Krakatau Steel (Persero) Tbk, Silmy Karim, yang diusir Komisi VII DPR saat rapat pada Senin, 14 Februari.

Dewan etik DPR lantas meminta Menteri BUMN Erick Thohir mengevaluasi Dirut Krakatau Steel yang dianggap menantang saat rapat kerja bersama anggota dewan.

"Menteri BUMN harus mengevaluasi Direktur Utama Krakatau Steel yang telah bertindak tidak pantas saat raker dengan Komisi VII kemarin," ujar Wakil Ketua MKD DPR Habiburokhman kepada wartawan, Selasa, 15 Februari.

Politikus Gerindra itu menilai, aksi Silmy sudah keterlaluan karena memotong pembicaraan pimpinan rapat tanpa izin. Dalam etika persidangan, sikap tersebut melanggar etika.

"Perbuatan memotong pembicaraan tanpa izin pimpinan rapat terlebih lagi yang dipotong pembicaraannya justru pimpinan rapat adalah pelanggaran etika rapat yang sangat keterlaluan," kata Habiburokhman.

Anggota Komisi III DPR itu menyebut Dirut Krakatau Steel juga mengabaikan peran DPR. Silmy pun diduga kuat melecehkan parlemen.

"Perbuatan tersebut jelas mengarah pada pelecehan parlemen dan mengabaikan hak pengawasan DPR yang diatur Pasal 20A UUD 1945," kata Habiburokhman.

Menurutnya, pimpinan Komisi VII DPR sebagai mitra kerja sudah tepat menjalankan fungsinya dalam pengawasan. Namun sayangnya, Dirut Krakatau Steel justru terkesan abai.

"Sikap Pimpinan Komisi VII sudah sangat tepat, dalam rapat tersebut mereka mendorong penguatan industri baja nasional, sementara Dirut Krakatau Steel justru tidak terlihat komitmennya," pungkas Habiburokhman.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Silmy Karim diusir dari ruang rapat Komisi VII DPR RI. Kejadian ini dipicu perdebatan antara Silmy dengan peserta rapat yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi.

Mulanya, Komisi VII memiliki agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen ILMATE Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim terkait beberapa hal. Di antaranya, perkembangan smelter di Kalimantan Selatan, blast furnace yang mangkrak, penjelasan terkait impor baja, dan lain-lain.

Dalam paparannya, Silmy menjelaskan bahwa penghentian operasional blash furnace tersebut karena alasan rugi. Namun, hal itu dikritik oleh Bambang, sebab dinilai tak sejalan dengan upaya memperkuat produksi dalam negeri.

"Ini bagaimana pabrik blast furnace ini dihentikan, tapi mau memperkuat produksi dalam negeri? Ini jangan maling teriak maling. Jangan kita ikut bermain, tapi pura-pura gak ikut bermain," kata Bambang, Senin, 14 Februari.

"Maksudnya maling bagaimana?" tanya Silmy seketika menimpali.

Bambang kembali mempertegas pertanyaannya mengenai upaya perusahaan pelat merah itu untuk ambil andil memperkuat industri baja nasional melalui pabrik blast furnace. Silmy pun berusaha menjelaskan.

Namun, respons Silmy itu dinilai oleh Komisi VII tidak sesuai dengan teknis persidangan lantaran berbicara sebelum dipersilakan. Bambang-pun geram.

"Ada teknis persidangan. Kok kayaknya Anda enggak pernah menghargai Komisi VII. Kalau sekiranya enggak bisa ngomong di sini, Anda keluar!" kata Bambang.

Menyikapi Bambang, Silmy pun menjawab. "Baik, kalau memang harus keluar. Kita keluar," jawab Silmy.