Suap Pengurusan Dana PEN Diduga Terjadi Akibat Tak Transparan
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata/DOK VOI-Wardhany Tsa Tsia

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut suap pengurusan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Daerah terjadi karena ketiadaan transparansi dalam proses pengajuan pinjaman. Hal ini menyebabkan terbukanya celah untuk melakukan negosiasi yang berlanjut pada praktik lancung.

Hal ini disampaikan untuk menanggapi penetapan dan penahanan Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Mochamad Ardian Noervianto ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diduga menerima suap untuk pengurusan pinjaman dana PEN Daerah yang diajukan oleh Bupati Kolaka Timur nonaktif Andi Merya Nur.

"Terkait pinjaman, kalau semuanya serba tidak transparan akhirnya akan membuka ruang bagi para pihak itu bernegosiasi," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang dikutip dari YouTube KPK RI, Kamis, 3 Februari.

Dengan kondisi itu, sambung Alexander, pihaknya sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan Kemendagri untuk membuka informasi secara terang terkait pengurusan peminjaman dana PEN Daerah.

"Sudah berkali-kali (kami, red) mengingatkan tentang adanya transparansi. Dulu ketika persetujuan menyangkut DAK misalnya di Kementerian Keuangan," ujarnya.

Alexander mengatakan KPK nantinya akan berkoordinasi dengan pihak terkait peminjaman ini untuk membahas peminjaman tersebut. Sehingga, kepala daerah tidak perlu lagi menyuap orang lain untuk mengawal proses tersebut.

"Sebetulnya orang dalam itu hanya menjual informasi. Apa yang dia lakukan sebetulnya enggak ada kan. Bukan kewenangan tapi dia punya informasi seolah-olah yang bersangkutan bisa dalam tanda kutip mengurus informasi," tegasnya.

"Nah, informasi ini yang tidak tersampaikan oleh kepala daerah. Tentu ini menjadi tugas kami dan kami akan berkoordinasi dengan PT SMI, misalnya, ya dibuka saja persyaratan untuk mendapatkan pinjaman," imbuh Alexander.

Diberitkan sebelumnya, Ardian ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya. Mereka adalah Bupati Kolaka Timur nonaktif Andi Merya Nur yang juga sudah sebagai tersangka dugaan penerimaan suap dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M. Syukur Akbar.

Dia diduga menerima suap sebesar Rp1,5 miliar dalam bentuk mata uang dolar Singapura. Ada pun pemberian uang yang dilakukan oleh Andi Merya Nur disampaikan melalui Laode M Syukur.

Dari uang Rp2 miliar itu, Ardian menerima uang Rp1,5 miliar sementara Laode M Syukur menerima Rp500 juta.