JAKARTA - Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya menetapkan seorang guru berinisial JS sebagai tersangka kasus tindak kekerasan terhadap seorang siswa di SMP Negeri 49.
"Kami tetapkan tersangka setelah orang tua korban melapor ke Polrestabes Surabaya. Namun, tersangka tidak kami tahan," ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Polisi Mirzal Maulana kepada wartawan di Surabaya, Senin, 31 Januari.
Tindakan JS yang merupakan guru olahraga itu kepada siswanya berinisial R saat pembelajaran tatap muka terekam kamera dan videonya viral di berbagai lini media sosial.
Menurut Mirzal, Polrestabes Surabaya masih melakukan penyelidikan, di antaranya memeriksa saksi-saksi dan mengumpulkan alat bukti.
"Hari ini kami memeriksa tiga orang saksi, yaitu korban, ayah korban sebagai pelapor dan siswa yang menyaksikan saat kejadian," ucapnya dikutip dari ANTARA.
Terhadap korban R, kata Mirzal, juga telah dilakukan visum, namun hasilnya tidak ditemukan bekas kekerasan pada tubuh korban.
BACA JUGA:
Sementara itu, video yang viral di media sosial terkait perkara ini bagi penyidik Polrestabes Surabaya dijadikan sebagai petunjuk penyelidikan.
Kasatreskrim mengungkapkan keberadaan siswa di sekolah dilindungi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan sebagaimana dimaksud Ayat 1 terkait kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/ atau pihak lain.
Aturan dalam UU tersebut demi melindungi peserta didik dari segala tindakan yang dapat mengganggu perkembangan proses belajar, kesehatan dan keamanan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Yusuf Masruh dan guru JS pada kesempatan sebelumnya telah meminta maaf secara terbuka atas tindak kekerasan tersebut.
Yusuf meminta setiap guru untuk memiliki strategi tepat dalam memberikan pembelajaran kepada anak didik dengan tujuan bisa membantu dan menjaga proses pembelajaran akademik siswa.
"Karena kemampuan dan kompetensi anak tidak sama. Kita boleh mengarahkan anak, tapi harus diingat batasan edukasinya. Harapannya tidak ada sentuhan fisik, tapi harus menggunakan logika rasional," tuturnya.