JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) khawatir praktik politik uang akan marak di Pilkada 2020 karena keadaan ekonomi yang menurun akibat pandemi COVID-19.
"Menjadi kekhawatiran kita dengan kondisi ekonomi yang menurun, politik uang di tahun 2020 akan meningkat karena masyarakat menjadi sangat permisif terhadap politik uang," kata Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo dalam Rakornas Sentra Gakkumdu melalui daring di Jakarta, dilansir dari situs resmi Bawaslu, Senin 31 Agustus.
Apalagi, Dewi menambahkan, aturan larangan politik uang pada pilkada, subjeknya tidak terbatas orang-orang tertentu, misalnya peserta pemilu, peserta kampanye dan pelaksana kampanye.
"Kini, subjeknya disebut adalah 'setiap orang' dan itu membuat lebih mudah dalam menangani dugaan penganan pelanggaran karena tidak ada pembatasan terhadap subjek," ujarnya.
Namun, dia khawatir, pelaporan praktik politik uang ini akan rendah. Sebab, dalam aturan yang ada, pemberi dan penerima akan diberi sanksi.
"Kondisi ini yang kita khawatirkan akan menutup ruang partisipasi masyarakat karena kalau mereka melaporkan akan menjadi subjek yang dikenakan sangsi," tuturnya.
Lebih jauh, Ratna mengatakan, partisipasi masyarakat untuk melaporkan peristiwa dugaan pelanggaran pidana pemilu diprediksi akan rendah akibat pandemi COVID-19.
Kata Dewi, pada Pilkada 2015 dan 2018 yang dilaksanakan tidak pandemi atau situasi normal, data menunjukkan, angka laporan masyarakat jauh lebih rendah dibandingkan angka temuan Bawaslu.
Padahal, lanjutnya, dalam beberapa peristiwa dugaan pelanggaran seperti politik uang, mahar politik sering terjadi di ruang tertutup yang sulit terdeteksi jajaran pengawas pemilu dan itu butuh partisipasi masyarakat untuk melaporkannya.
"Jika partipasi masyarakat ini rendah, maka kita khawatir kualitas penanganan pelanggaran di 2020 ini rendah karena banyak dugaan tindak pidana pelanggaran yang tidak terdeteksi dan tidak dapat diproses," katanya.