JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Bobby Rizaldi meminta pemerintah segera memutuskan hasil tindak lanjut dari audit kasus proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Sebelumnya ditemukan potensi kerugian negara hampir Rp 1 triliun dalam proyek ini.
"Tentu indikasi-indikasi dugaan pelanggaran hukum yang menyebabkan ada potensi kerugian negara tersebut perlu dilakukan audit oleh lembaga pemeriksa negara agar jelas dan segera diambil keputusan tindaklanjutnya," ujar Bobby di Jakarta, Jumat, 14 Januari.
Menurut politikus Golkar itu, akan segera diketahui siapa yang bermain dalam proyek tersebut apabila dilakukan audit secara tuntas.
"Nanti hasil pemeriksaan tersebut dilihat siapa yang bertanggungjawab kiranya ada pelanggaran hukum seperti dugaan saat ini," katanya.
Namun, Bobby mengingatkan asas praduga tetap harus dikedepankan dalam mengusut kasus ini. Sehingga kata dia, pemerintah harus memeriksanya secara detail.
"Tetap dikedepankan asas praduga tidak bersalah, oleh karenanya harus dilihat secara holistik, dan detail nanti," pungkasnya.
Sebelumnya, Mahfud Md mengungkap adanya proyek satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 yang berpotensi membuat negara rugi hampir Rp 1 triliun. Proyek itu berkaitan dengan pengelolaan satelit untuk slot orbit 123 derajat bujur timur.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," kata Mahfud di kantornya, Kamis, 13 Januari.
Mahfud mengaku sudah beberapa kali rapat membahas persoalan ini dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Mahfud juga telah melaporkan hal ini ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini," ucap Mahfud.
Selain itu, Mahfud meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT). Hasil dari audit itu pun sudah dikantongi Mahfud.
BACA JUGA:
Berikut ini gambaran besar perkara itu:
Pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015, meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016. Namun pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
Pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia. Sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.
Pihak Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017. Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan, namun Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo.
Mahfud pun memperkirakan angka kerugian ini akan bertambah besar. Sebab, menurutnya, masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan.
"Selain sudah kita dijatuhi putusan arbitrase di London dan Singapura tadi, negara itu berpotensi ditagih lagi oleh AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," kata Mahfud.