JAKARTA - Pemerintah memprediksi puncak gelombang kasus Omicron terjadi pada awal Februari. Berkaca dari negara lain, lonjakan kasus COVID-19 varian Omicron terjadi sekitar 40 hari setelah kasus pertama ditemukan.
Namun demikian, lanjut Rahmad, Indonesia harus juga berkaca dari negara lain di mana dalam dua minggu proses penularan varian Omicron secara global begitu cepat sekali.
"Sedangkan di Indonesia juga sudah terjadi transmisi lokal yang itu justru semakin sulit untuk kita deteksi dan kendalikan kalau kita abai prokes dan tidak menganggap Omicron sesuatu yang serius," katanya.
Agar tidak terjadi ledakan kasus seperti varian Delta pertengahan tahun lalu, politikus PDIP itu menilai pemerintah harus menggencarkan komunikasi, edukasi dan informasi kepada masyarakat bahwa Omicron nyata secara global.
BACA JUGA:
Dikatakan Rahmad, Komisi IX DPR sudah mendorong pemerintah untuk mempersiapkan hal buruk jika kasus Omicron meledak. Salah satunya adalah dengan menyiapkan obat-obatan dan oksigen. Meski sudah dilakukan namun perlu diingat negara manapun tidak akan sanggup menyiapkan fasilitas kesehatan di saat warganya bersamaan sakit.
"Berkaca pada gelombang tsunami Delta beberapa bulan yang lalu, saya berharap Pemerintah mampu mengevaluasi kebijakan penanganan pandemi pada waktu itu. Sistem dan fasilitas kesehatan kita 'kedodoran', tenaga kesehatan pun banyak yang berguguran," kata Netty kepada wartawan, Rabu, 12 Januari.
Netty menilai saat ini mulai terjadi banyak pelonggaran prokes. Menurutnya, pemerintah perlu bergerak cepat mengencangkan pengawasan prokes.
"Saat ini kita melihat pelonggaran prokes terjadi dimana-mana. Mobilitas dan aktivitas masyarakat hampir kembali normal seperti sebelum datangnya pandemi," kata Netty.
"Seharusnya Pemerintah melalui satgas bergerak cepat untuk mengencangkan kembali kampanye dan pengawasan prokes 3M/5M. Selain itu, surveilans 3T; testing, tracing, dan treatment harus dipersiapkan mengantisipasi situasi terburuk," sambungnya.
Selain itu, percepatan vaksin dosis 1 dan 2 juga disebut perlu dilakukan. Sebab menurutnya masih banyak daerah yang persentase vaksinnya belum mencapai 70 persen.
"Tidak kalah penting Pemerintah harus mempercepat pelaksanaan vaksinasi dosis pertama dan kedua sebelum booster dilakukan secara masif. Masih banyak daerah yang belum mencapai 70 persen, seperti Sulbar, Maluku, Sumbar, Papua, dan Papua Barat," imbuhnya.
Luhut mengatakan, hal tersebut diprediksi berdasarkan pengamatan dari lonjakan kasus COVID-19 varian Omicron yang terjadi di negara lain yaitu sekitar 40 hari setelah kasus pertama ditemukan. Penularan Omicron ini, kata dia, lebih cepat dari varian Delta.
"Kita perkirakan puncak gelombang karena Omicron akan terjadi pada awal Februari," kata Luhut dalam rekaman video, Selasa, 11 Januari.
Luhut meyakini, sebagian besar kasus Omicron akan bergejala ringan, sehingga strategi penanganannya berbeda dengan varian Delta.
Ia mengatakan, Indonesia saat ini jauh lebih siap dalam menghadapi potensi gelombang varian Omicron.
Sebab, tingkat vaksinasi COVID-19 sudah lebih tinggi dan kapasitas testing dan tracing kita jauh lebih tinggi.
"Sistem kesehatan kita juga sudah lebih siap, baik dalam hal obat-obatan (termasuk molnupiravir dari Merck), tempat tidur RS, tenaga kesehatan, oksigen, dan fasilitas isolasi terpusat," ujarnya
"Kenaikan transmisi Omicron akan jauh lebih tinggi daripada Delta, tetapi yang dirawat lebih sedikit," tutur Menkes Budi Gunadi, dikutip dari laman resmi Kemenkes, Selasa, 11 Januari.