Kompaknya PDIP-PKS Minta Pemerintah Berkaca pada Kasus Delta untuk Hadapi Lonjakan Omicron di Awal Februari
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah memprediksi puncak gelombang kasus Omicron terjadi pada awal Februari. Berkaca dari negara lain, lonjakan kasus COVID-19 varian Omicron terjadi sekitar 40 hari setelah kasus pertama ditemukan. 

Terkait informasi tersebut, legislator dan PDIP dan PKS kompak mewanti-wanti pemerintah untuk berkaca pada penanganan varian Delta di pertengahan tahun lalu. PDIP-PKS juga senada mengingatkan untuk memperketat protokol kesehatan hingga mempercepat pemerataan vaksinasi secara nasional tahap 1, tahap 2 dan booster. 

 

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP, Rahmad Handoyo mengingatkan semua pihak untuk tidak mengabaikan protokol kesehatan ketat sebagai antisipasi penularan varian tersebut. 

 

"Saya kira apa yang disampaikan terkait potensi Februari ada puncak Omicron kan tidak boleh kita abaikan, harus kita serius dan persiapkan dengan baik agar kasus itu tidak terjadi," ujar Rahmad kepada VOI, Rabu, 12 Januari. 

Namun demikian, lanjut Rahmad, Indonesia harus juga berkaca dari negara lain di mana dalam dua minggu proses penularan varian Omicron secara global begitu cepat sekali. 

"Sedangkan di Indonesia juga sudah terjadi transmisi lokal yang itu justru semakin sulit untuk kita deteksi dan kendalikan kalau kita abai prokes dan tidak menganggap Omicron sesuatu yang serius," katanya. 

Agar tidak terjadi ledakan kasus seperti varian Delta pertengahan tahun lalu, politikus PDIP itu menilai pemerintah harus menggencarkan komunikasi, edukasi dan informasi kepada masyarakat bahwa Omicron nyata secara global. 

 

"Kita juga berkaca pada negara mayoritas Omicron seperti AS India dll agar kita lebih hati-hati. Prokes tidak boleh kita tawar agar efektif," kata Rahmad.

Meskipun Omicron menulari warga yang sudah divaksin, tambah Rahmad, tetap harus menyukseskan program vaksinasi. Khususnya yang belum vaksin tahap satu. 

 

"Juga harus kita dorong vaksin kedua juga termasuk penyuntikan booster untuk dipercepat khususnya lansia," katanya.

Dikatakan Rahmad, Komisi IX DPR sudah mendorong pemerintah untuk mempersiapkan hal buruk jika kasus Omicron meledak. Salah satunya adalah dengan menyiapkan obat-obatan dan oksigen. Meski sudah dilakukan namun perlu diingat negara manapun tidak akan sanggup menyiapkan fasilitas kesehatan di saat warganya bersamaan sakit. 

 

"Berkaca negara lain juga saat Omicron meledak RS juga penuh, bukan berarti OTG itu fisiknya kuat tapi ketika menulari saudara kita yang lansia kemudian menulari kita yang komorbid kita harus waspada. Karena itu kita camkan ini. Meskipun kita siapkan tapi warga sama-sama sakit serempak, meledak, sulit kita siapkan faskes," jelasnya.

 

"Untuk itu harga mati tidak boleh ditawar karena Omicron sudah dominasi apalagi banyak OTG, yaitu jangan mengacu pada data saja. Kita patut waspada kemungkinan Omicron sudah banyak menyebar dan banyak OTG. Tapi Jangan panik, kita tetap kita waspada," tandas Rahmad. 

 

Senada, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Netty Prasetiyani pun meminta pemerintah melakukan evaluasi penanganan pada gelombang Delta sebelumnya.

"Berkaca pada gelombang tsunami Delta beberapa bulan yang lalu, saya berharap Pemerintah mampu mengevaluasi kebijakan penanganan pandemi pada waktu itu. Sistem dan fasilitas kesehatan kita 'kedodoran', tenaga kesehatan pun banyak yang berguguran," kata Netty kepada wartawan, Rabu, 12 Januari. 

Netty menilai saat ini mulai terjadi banyak pelonggaran prokes. Menurutnya, pemerintah perlu bergerak cepat mengencangkan pengawasan prokes.

"Saat ini kita melihat pelonggaran prokes terjadi dimana-mana. Mobilitas dan aktivitas masyarakat hampir kembali normal seperti sebelum datangnya pandemi," kata Netty.

"Seharusnya Pemerintah melalui satgas bergerak cepat untuk mengencangkan kembali kampanye dan pengawasan prokes 3M/5M. Selain itu, surveilans 3T; testing, tracing, dan treatment harus dipersiapkan mengantisipasi situasi terburuk," sambungnya.

Selain itu, percepatan vaksin dosis 1 dan 2 juga disebut perlu dilakukan. Sebab menurutnya masih banyak daerah yang persentase vaksinnya belum mencapai 70 persen.

"Tidak kalah penting Pemerintah harus mempercepat pelaksanaan vaksinasi dosis pertama dan kedua sebelum booster dilakukan secara masif. Masih banyak daerah yang belum mencapai 70 persen, seperti Sulbar, Maluku, Sumbar, Papua, dan Papua Barat," imbuhnya. 

 

Pemerintah: Penularan Omicron Lebih Cepat dari Delta

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memprediksi puncak gelombang ketiga COVID-19 akibat varian Omicron terjadi pada awal Februari 2022.

Luhut mengatakan, hal tersebut diprediksi berdasarkan pengamatan dari lonjakan kasus COVID-19 varian Omicron yang terjadi di negara lain yaitu sekitar 40 hari setelah kasus pertama ditemukan. Penularan Omicron ini, kata dia, lebih cepat dari varian Delta.

"Kita perkirakan puncak gelombang karena Omicron akan terjadi pada awal Februari," kata Luhut dalam rekaman video, Selasa, 11 Januari.

Luhut meyakini, sebagian besar kasus Omicron akan bergejala ringan, sehingga strategi penanganannya berbeda dengan varian Delta.

Ia mengatakan, Indonesia saat ini jauh lebih siap dalam menghadapi potensi gelombang varian Omicron.

Sebab, tingkat vaksinasi COVID-19 sudah lebih tinggi dan kapasitas testing dan tracing kita jauh lebih tinggi.

"Sistem kesehatan kita juga sudah lebih siap, baik dalam hal obat-obatan (termasuk molnupiravir dari Merck), tempat tidur RS, tenaga kesehatan, oksigen, dan fasilitas isolasi terpusat," ujarnya 

Tambahan informasi, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin memperingatkan, bahwa kasus varian Omicron di Indonesia diprediksi bakal lebih tinggi jumlahnya ketimbang varian Delta.

"Kenaikan transmisi Omicron akan jauh lebih tinggi daripada Delta, tetapi yang dirawat lebih sedikit," tutur Menkes Budi Gunadi, dikutip dari laman resmi Kemenkes, Selasa, 11 Januari.