Bagikan:

JAKARTA - Ketua MUI Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, Sholahuddin Al Aiyub, mengatakan regulasi halal di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan baru yang memungkinkan adanya kolaborasi antar pihak. Aturan baru ini sekaligus menutup asumsi banyak pihak yang bilang sertifikasi halal dimonopoli MUI.

"Ada BPJH (Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal) sebagai penanggung jawab, ada lembaga pemeriksa halal LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) yang dulu hanya LPPOM punya MUI. Sekarang bisa dibuka untuk yang lain, dan ada komisi fatwa dam hal penerapan fatwanya," kata dia seperti dikutip dari laman MUI, yang dilihat redaksi Kamis 6 Januari.

Kiai Aiyub, sapaan akrabnya, menuturkan, para pihak ini kemudian melakukan kerja sama dalam hal skema sertifikasi halal menurut perundang-undangan yang baru.

Dalam perundangan yang baru ini, kata Kiai Aiyub, MUI tidak bisa melakukan monopoli sertifikasi halal karena kewenangan itu sudah dibagi pada pihak-pihak yang sudah diatur dalam undang-undang.

“Pada BPJH, lembaga pemeriksa halal bisa LPPOM, bisa diluar ada komisi fatwa dan yang lain sebagainya, ” tambahnya.

Sebelum ada UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) maupun aturan selanjutnya seperti UU Omnibuslaw Ciptaker dan turunanya, sebenarnya MUI juga tidak melakukan monopoli sertifikasi halal. Kiai Aiyub menyebut, muncul kesan monopoli dari MUI karena tidak ada lembaga lain yang saat itu bersedia melakukan. Padahal kedudukan sertifikasi halal ketika itu masih sukarela, belum wajib seperti aturan sekarang.

Kiai Aiyub mengungkapkan, bahwa hal tersebut merupakan inisiatif MUI untuk melindungi keyakinan umag Islam. Selain itu, lanjutnya, belum banyak pihak yang mempunyai konsen terhadap hal itu.

“Waktu itu hanya ada MUI, tapi sekarang setelah ada UU JPH dan Ciptaker, tidak bisa dikatakan MUI yang monopoli. Karena di dalam Undang-Undang itu sudah diatur bahwa ada BPJH, LPH dan Komisi Fatwa MUI, ” pungkasnya.