Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto menganggap kasus kekerasan seksual yang menimpa sejumlah santriwati di Bandung bisa menjadi momentum untuk mempercepat dua regulasi yang sedang disusun pemerintah dan DPR.

Dua regulasi itu adalah Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pindana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

"Kalau mau, ini dijadikan momentum. Revisi KUHP itu kan tertunda terus di Komisi III. Nah, ini dijadikan momentum untuk memperberat hukuman, termasuk RUU TPKS," kata Yandri dalam diskusi virtual, Minggu, 12 Desember.

Saat ini, RUU TPKS saat ini telah disetujui oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Sebanyak tujuh dari sembilan fraksi setuju draf RUU TPKS di bawa ketingkat selanjutnya untuk dijadikan usulan inisiatif DPR RI.

Selanjutnya, apabila sudah ditetapkan sebagai usulan inisiatif DPR RI, draf RUU TPKS akan dibahas bersama pemerintah kemudian disahkan sebagai undang-undang.

Yandri menjelaskan, kendala yang menyulitkan percepatan pengesahan RUU TPKS adalah Revisi KUHP yang belum disahkan. Sehingga, unsur pemidanaan yang tertuang dalam KUHP untuk dicantumkan dalam RUU TPKS terhambat.

"Revisi KUHP dan RUU TPKS ini dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kalau mau, ini dijadikan momemtum, yuk KUHP itu direvisi dengan cepat agar seiring sejalan dengan RUU TPKS," ujar Yandri.

Sebagai informasi, kasus pemerkosaan santriwati mulai terungkap sejak adanya laporan sekitar bulan Mei 2021 ke Polda Jawa Barat. Setelah itu, laporan tersebut ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan hingga berkas perkara lengkap dan dilimpahkan ke kejaksaan.

Dari kasus tersebut, diketahui seorang guru berinisial HW melakukan tindakan asusila kepada 12 orang santriwati. Bahkan sudah ada santriwati yang hamil dan melahirkan beberapa orang anak.

HW juga merupakan pemilik salah satu pondok pesantren yang ada di Kota Bandung. Ia itu kini sudah berstatus sebagai terdakwa karena berkas perkaranya sudah masuk pengadilan.