JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat atau cacat formil menuai kritik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketua Fraksi PPP DPR RI yang juga Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, mengatakan, seharusnya sejak awal Mahkamah Konstitusi (MK) menolak anggota DPR menjadi saksi fakta atas prosedur perumusan Undang-Undang Cipta Kerja.
Bukan sebaliknya, memberikan ruang anggota DPR menjadi saksi fakta namun akhirnya tidak diterima lantaran dianggap hanya sebatas keterangan DPR.
"Kalau memang MK tidak menerima menjadi saksi fakta ya bilang dari awal, jangan di dengarkan kemudian dilepeh, istilahnya begitu" ujar Arsul di Gedung DPR, Senin, 29 November.
Diketahui, dasar putusan MK menetapkan UU Cipta Kerja sebagai cacat formil karena dianggap tidak memenuhi prosedur aspirasi publik.
Disatu sisi, Arsul menilai, MK hanya memiliki wewenang menguji undang-undang secara materil bukan secara formil. Sehingga, yang harus diubah dalam UU Cipta Kerja bukan materinya. Namun kata dia, prosedur perumusan Undang-undang tersebut.
"UU Cipta Kerja harus diperbaiki prosedurnya bukan materinya loh ya, pembentukan UU-nya supaya memenuhi syarat formil," kata Arsul.
BACA JUGA:
Sementara, anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo mengaku telah menyerap aspirasi dari berbagai elemen. Firman, merupakan anggota yang menjadi saksi fakta dalam prosedur pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.
"Saya telah memberikan kesaksian sebagai saksi fakta mengenai partisipasi masyarakat. Semua kita undang disini, dari serikat buruh yang pro yang kontra kita undang," ungkap Firman.
Menurut Firman, DPR telah mengundang banyak pihak untuk diminta pendapatnya dalam pembentukan UU Cipta Kerja. Namun, dia menyayangkan hal tersebut seperti tidak diperhitungkan oleh MK. Firman pun merencanakan untuk membentuk standar partisipasi masyarakat dalam perumusan UU agar DPR memliki standar yang jelas.
"Saya nanti malem istikharah untuk merumuskan rencana standar partisipasi tadi," tandasnya.