Bagikan:

JAKARTA - Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan potensi terjadinya gelombang ketiga kasus COVID-19 di Indonesia tergolong besar, tetapi jumlah kasus diprediksi tak akan lebih banyak dari gelombang pertama.

"Gelombang pertama itu 18 ribu pada bulan Januari 2021, apalagi gelombang kedua jumlah kasusnya sampai 54 ribu. (Potensi gelombang ketiga) akan kurang dari 5.000 kasus," ujar Tri dalam diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Tri menjelaskan potensi gelombang ketiga itu akan muncul apabila sebagian masyarakat berkerumun dan tak memakai masker. Banyak yang menganggap bahwa COVID-19 telah melandai dan potensi penularan bakal berkurang, sehingga tak sedikit masyarakat yang abai prokes.

Padahal, kata dia, pandemi masih berlangsung dan dibutuhkan kesadaran bersama dalam memutus rantai penularan. Paling penting tak menganggap enteng kendati telah mendapatkan vaksinasi dua dosis.

"Itu terbukti di negara-negara di Eropa meledak lagi (angka penularan) seperti di Inggris, Prancis, sekarang meningkat lagi," kata dia.

Kondisi lain yang bisa membuat gelombang ketiga terjadi yakni mobilitas yang tinggi saat Natal dan Tahun Baru. Mobilitas tinggi saat berlibur tak diiringi dengan kepatuhan menerapkan prokes. Natal dan Tahun Baru kerap menimbulkan kenaikan kasus pada Januari.

"Nah ini yang harus hati-hati, berkerumun. Mobilitas, boleh ke mana-mana asal tidak berkerumun," kata dia.

Tak hanya itu, faktor lainnya yang dapat memengaruhi lonjakan kasus yakni relaksasi PPKM yang terkesan terburu-buru sehingga membuat mobilitas masyarakat meningkat signifikan. Kemudian, kata dia, mesti mewaspadai subvarian Delta AY.4.2. yang sudah terdeteksi di negara tetangga; Singapura dan Malaysia.

"Lalu surveillance kita kurang baik atau kurang bisa menangkap kasus yang sesungguhnya. Jadi kasus yang sesungguhnya mungkin dilaporkan dua hari lalu. Sebenarnya (angka) lebih dari itu karena semua kabupaten/kota mau level satu," kata dia.

Untuk mencegah terjadinya gelombang ketiga atau lonjakan kasus, kata dia, ada sejumlah cara seperti membuat Perda soal wajibnya memakai masker dan tak berkerumun, memperbaiki surveillance dan tak terburu-buru melakukan relaksasi, hingga pendekatan hukum untuk membuat masyarakat taat prokes.

"Kultur kita cepat melupakan. Orang sudah lupa saat itu mendengar kematian akibat COVID-19, orang Indonesia cepat melupakan itu. Lalu memakai masker di kalangan tukang, di pasar baik penjual maupun pembeli, sudah kurang," katanya.