Bagikan:

JAKARTA - Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) Arifin Zunaidi menyatakan pihaknya bersedia kembali bergabung dalam Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), namun dengan persyaratan.

Syaratnya, kata Arifin, Kemendikbud mesti menunda pelaksanaan POP di tahun depan. Sebab, menurut Arifin, skema program POP saat ini bermasalah.

"Kami meminta kepada Kemendikbud untuk mematangkan konsep POP dan menunda pelaksanaannya tahun depan. LP Ma'arif NU PBNU mempertimbangkan untuk bergabung dalam POP tahun depan setelah mempelajari dan mencermati revisi konsep POP," kata Arifin kepada VOI, Selasa, 4 Agustus.

Jika Kemendikbud memaksakan POP dilaksanakan pada tahun ini, maka Arifin menyebut LP Ma'arif NU PBNU tidak akan bergabung dalam POP Kemendikbud. 

Arifin melanjutkan, pada tahun ini, LP Ma'arif NU PBNU tetap melaksanakan peningkatan kapasitas kepala sekolah dan guru, serta inovasi pendidikan secara mandiri.

"Karena dilaksanakan secara mandiri maka LP Ma'arif NU PBNU minta kepada Kemendikbud untuk tidak mencatumkan LP Ma'arif NU PBNU dalam daftar penerima POP tahun ini," tegasnya. 

Seperti diketahui, POP diluncurkan sebagai bagian dari kebijakan merdeka belajar episode keempat pada 10 Maret 2020. Program itu dirancang untuk mendorong terciptanya sekolah-sekolah penggerak dengan cara memberdayakan masyarakat melalui dukungan pemerintah.

Hal itu dilakukan dengan meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan yang dapat secara efektif meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.

Lalu, polemik POP ini muncul ketika Komisi X DPR RI Syaiful Huda (PKB) menilai ada kejanggalan dari sejumlah perusahaan besar seperti Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto ikut mendapatkan dana tersebut. 

Pertanyaan ini pula yang melatarbelakangi PGRI, Muhammadiyah, dan LP Ma'arif NU mundur dari pelaksana POP. NU menilai kriteria keanggotaan tidak jelas dan khawatir akan ada konflik kepentingan dalam POP.

Sampai akhirnya, Nadiem meminta maaf pada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan PGRI terkait polemik ini dan meminta ketiga lembaga tersebut kembali bergabung dalam POP.