Bagikan:

JAKARTA - Komisi X DPR RI berencana menjadwalkan Rapat Kerja dengan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, guna membahas polemik Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Wakil Ketua Komisi X Fraksi Golkar Hetifah Sjaifudian, menyayangkan kekisruhan yang timbul atas peraturan tersebut. Menurutnya, polemik mencuat karena perbedaan persepsi atas permen tersebut.

“Padahal kita sedang berbenah agar kampus menjadi tempat yang aman dan kondusif. Jangan sampai kekisruhan ini menjadikan upaya ini mengalami kemunduran dan bahkan terhambat," ujar Hetifah dalam keterangannya, Jumat, 12 November.

Hetifah mengingatkan, pentingnya dukungan semua pihak untuk fokus memberantas tindakan kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Pasalnya, selama ini kekerasan seksual di lembaga pendidikan masih marak.

"Ini terjadi karena pelaku memanfaatkan ketimpangan kuasa yang ada, misalkan oleh dosen terhadap mahasiswa," katanya.

Menurut Hetifah, ketimpangan hirarki yang ada di institusi pendidikan itu yang kemudian kerap disalahgunakan mereka pemilik kuasa untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Oleh karena itu Hetifah mengingatkan, perbedaan penafsiran terhadap peraturan itu harus diluruskan.

"Jangan sampai niat baik bersama untuk menghapuskan kekerasan seksual di lembaga pendidikan terhambat karena terdapat penafsiran yang berbeda," katanya.

Golkar sendiri, lanjut Hetifah, mengapresiasi upaya Kemendikbud Ristek dalam mencegah kekerasan seksual lewat Permendikbud Nomor 30/2021. Kendati begitu Hetifah menyarankan agar pengaturan dalam Permendikbud direvisi dan disosialisasikan dengan lebih baik untuk mencegah multi-tafsir.

"Fraksi Golkar menegaskan bahwa Golkar tidak mungkin menerima aturan yang bertujuan melegalkan seks bebas di Lembaga Pendidikan. Apalagi Partai Golkar selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945," tambah Hetifah.

Sebelumnya, Fraksi PKB meminta menteri Nadiem merevisi aturan tersebut lantaran dianggap multitafsir. Sementara, Fraksi PKS paling keras mengkritik Permendikbud Ristek tersebut lantaran dianggap sama sama melegalkan perzinahan.

Adapun poin yang menjadi sorotan dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 diantaranya:

1. Kewajiban Bentuk Satuan Tugas

Salah satu sorotan terhadap Permendikbud ini datang dari anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Sakinah Aljufri. Dia mempermasalahkan keharusan kampus membuat Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Menurutnya, ini justru menambah beban baru bagi kampus maupun sivitas perguruan tinggi.

Pasal 1

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

2. Kepentingan Korban

Selanjutnya, Permendikbud ini dikritik oleh anggota DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah. Salah satunya karena tidak ada norma agama dalam Pasal 3 yang menjelaskan soal pencegahan kekerasan seksual. Apalagi pasal ini dianggap berpedoman pada konsep 'consent' atau persetujuan korban. Bagian 'consent' ini dianggap melegalkan zina. Begini bunyi pasalnya.

Pasal 3

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:

a. kepentingan terbaik bagi Korban;

b. keadilan dan kesetaraan gender;

c. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang

disabilitas;

d. akuntabilitas;

e. independen;

f. kehati-hatian;

g. konsisten; dan

h. jaminan ketidakberulangan.

3. Kekerasan Seksual Verbal

Selain itu, Pasal 5 yang memuat soal bentuk kekerasan seksual juga disorot. PKS menyoroti bagian 'penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender' yang ada dalam ayat 2 poin a. Ledia menilai frasa ini bias. Berikut ini bunyi pasalnya:

Pasal 5

(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;

b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;

c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;

d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;

e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;

f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;

j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;

k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;

l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian

tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;

m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;

o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;

p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;

q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;

r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;

s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;

t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau

u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.

(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m,

dianggap tidak sah dalam hal Korban:

a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;

c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;

d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;

e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;

f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau

g. mengalami kondisi terguncang