Bagikan:

JAKARTA - Pertikaian China dan Amerika Serikat (AS) bagai tak pernah menemukan penyelesaian. Setidaknya hingga hari ini, ketika dua negara tuding-menuding soal COVID-19, sama-sama menutup kantor konsulat, hingga saling lempar studi mengenai Sungai Mekong yang membentang dari Tibet hingga Vietnam.

April lalu, sebuah penelitian diinisiasi oleh Washington. Penelitian yang dilakukan perusahaan konsultan urusan air, Eyes on Earth itu menunjukkan sebelas bendungan sepanjang 4.350 kilometer yang dibangun China di hulu Sungai Mekong telah menahan 47 miliar meter kubik air. Hal itu memperparah kekeringan di bagian hilir sungai pada 2019 lalu.

Model prediksi yang dibangun studi ini didasari pada gambar satelit dan data MRC (Mekong River Commission), lembaga antarpemerintah negara-negara di lintasan Sungai Mekong. Pemodelan itu menunjukkan volume air di hilir Sungai Mekong mulai berkurang sejak tahun 2010. Saat studi itu dirilis, pemerintah China mengecam dan menyebut itu agenda politik untuk menjatuhkan China.

Kali ini, China merespons dengan studi tandingan. Melansir SCMP, Senin, 3 Agustus, studi kolaboratif antara Universitas Tsinghua dan Institut Sumber Daya Air China dirilis. Studi itu menunjukkan bahwa bendungan China justru membantu mengatasi masalah kekeringan karena mampu menyimpan air di musik hujan dan melepaskannya di musim kemarau.

Para analis menyebut klaim yang bersaingan itu sebagai tanda-tanda pertempuran untuk mengendalikan narasi yang membingkai hubungan China dengan negara tetangganya di Asia Tenggara. Singkatnya, Sungai Mekong telah menjadi front terbaru dalam persaingan AS-China.

Persaingan narasi

Sungai Mekong merupakan sumber kehidupan bagi 60 juta orang. Sungai tersebut mengalir dari China dan melintasi Kamboja, Laos, Thailand, Myanmar hingga Vietnam. Laporan media di negara-negara hilir ini menghubungkan kekeringan yang terjadi di negara mereka dengan operasional pembangkit listrik tenaga air atau irigasi bendungan China.

Narasi itu menguat pada April ketika laporan Eyes on Earth dirilis. Namun, studi China, berdasarkan pada kerja delapan peneliti yang dipimpin oleh Profesor Tian Fuqiang, menjabarkan gambaran yang sangat berbeda. Mereka mengklaim kekeringan disebabkan oleh faktor lingkungan, termasuk suhu tinggi dan penurunan curah hujan.

Selain itu, studi China juga mengatakan bahwa penelitian dari Eyes on Earth adalah "tuduhan sembrono oleh beberapa peneliti asing yang menyalahkan China atas kekeringan di negara-negara di kawasan yang lebih rendah." Mereka juga menyimpulkan bahwa China-lah yang menghadapi risiko kekeringan tertinggi dari semua negara Mekong.

Dikatakan, frekuensi keseluruhan dari kekeringan parah di Mekong adalah sekitar 7 persen. Tetapi, 12 persen kekeringan terjadi di bagian atas dan tengah tempat bendungan China berada.

Potensi konflik baru

Laporan yang saling bertentangan itu adalah tanda bahwa sungai telah berubah menjadi medan pertempuran geopolitik antara AS dan China. Poin ini juga telah disinggung oleh perusahaan tata kelola air dan energi, Amperes. Perusahaan mengatakan studi dari Eyes on Earth tidak definitif dan kesimpulannya melampaui bukti yang ada.

"Insiden kelangkaan air menawarkan peluang strategis bagi para pemangku kepentingan untuk menggunakan data untuk meningkatkan atau mengurangi masalah dalam upaya mencapai tujuan politik mereka," kata laporan Amperes.

Biba, yang juga penulis buku tentang hidro-politik China di Mekong, mengatakan bahwa dalam hal ini China tidak melakukan kebaikan dengan keengganannya untuk berbagi informasi dengan negara lain. “Data ada dan bisa dibagikan. Keengganan China untuk melakukan hal itu dengan kuat memberi kesan bahwa pihak China memiliki sesuatu untuk disembunyikan. Tidak lagi penting apakah China benar-benar menyimpan air atau tidak, kerusakan sudah terjadi," kata Biba.

Para menteri luar negeri wilayah Mekong sempat menyelenggarakan pertemuan pada Februari. Pada kesempatan tersebut, China mengatakan akan mempertimbangkan untuk berbagi informasi hidrologi sepanjang tahun dengan negara-negara Mekong. Pihaknya juga memastikan apa yang disebutnya penggunaan sumber daya air yang “rasional dan berkelanjutan”.

Pada April, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang berjanji China segera membagikan informasi. Geng Shuang juga menyampaikan keinginan China untuk bekerja sama dengan negara-negara di sepanjang Mekong untuk menangani perubahan iklim dan bencana banjir. Namun hingga kini, belum ada kelanjutan dari informasi hidrologi tersebut.