JAKARTA - Gelombang unjuk rasa menuntut pengunduran diri Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu makin luas. Jalan-jalan di sejumlah kota dipenuhi ribuan massa yang menyuarakan kesulitan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Keresahan massa diperparah dengan dugaan korupsi yang membelit sang presiden. Netanyahu, Minggu, 2 Agustus merespons dengan menyebut aksi massa itu sebagai penghinaan terhadap demokrasi.
Netanyahu juga menuduh aksi itu disokong oleh kelompok-kelompok yang hendak memakzulkannya. Salah satu caranya lewat pengerahan media massa. Segala pernyataan itu disampaikan Netanyahu dalam rapat mingguan bersama seluruh jajaran kabinet.
"Demonstrasi ini dipicu oleh mobilisasi media, yang tidak dapat saya ingat ... Mereka bahkan tidak melaporkan demonstrasi –karena melanggar protokol COVID-19-- karena mereka berpartisipasi di dalamnya. Mereka menambah bahan bakar," kata Netanyahu, dikutip Reuters, Senin, 3 Agustus.
Berbeda dengan Netanyahu, mitra koalisi Netanyahu yang juga Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz malah membela para pengunjuk rasa. "Hak untuk memprotes adalah darah kehidupan demokrasi."
BACA JUGA:
Bahkan dukungan kepada unjuk rasa juga ditunjukkan partai oposisi sayap kiri, Meretz. Melalui sebuah pernyataan, mereka mengungkap Netanyahu telah berada di barisan rezim yang gelap karena ingin membatasi demokrasi.
Sementara itu, demonstrasi utama berlangsung di depan kediaman dinas Netanyahu di Yerusalem. Para demonstran membawa slogan dan poster bertuliskan, "Netanyahu Gagal" dan "Netanyahu Mundur.”
Terkait dugaan korupsi, Netanyahu dituduh secara ilegal menyuntik surat kabar terlaris Israel, Yediot Aharonot dengan dana besar untuk menulis pemberitaan positif untuk dirinya sendiri. Selain itu, Netanyahu juga disebut menerima cerutu, sampanye, dan perhiasan senilai 700 ribu shekel atau hampir Rp3 miliar dari sejumlah orang sebagai imbalan atas bantuan Netanyahu.