Pencegahan Penyebaran COVID-19 yang Dinilai Terkendala karena Bahasa Asing
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah mengubah imbauan social distancing atau membatasi interaksi sosial menjadi physical distancing atau menjaga jarak secara fisik dalam rangka mencegah penyebaran virus corona atau COVID-19. Perubahan penyebutan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.

Menurut Mahfud, perubahan ini didasari karena penyebutan physical distancing dirasa lebih pas dalam penerapannya di tengah masyarakat. Perubahan julukan ini, kata Mahfud, tak akan merubah kebijakan yang sudah ada sebelumnya. 

Sebab, perubahan ini sebenarnya didasari karena social distancing dianggap bertentangan dengan kebudayaan Indonesia serta memberi kesan menjauhkan kerukunan di tengah masyarakat.

"Kemarin disepakati, social distancing itu tampaknya kurang bagus. Lalu ada istilah physical distancing yang lebih dianjurkan lagi untuk menggunakan istilah jarak fisik," kata Mahfud kepada wartawan dalam sebuah telewicara, Senin, 23 Maret.

Adapun physical distancing yang dimaksud adalah menjaga jarak antara orang lain hingga 1 meter. Selain itu, masyarakat juga harus mencuci tangan serta pakaian yang digunakan setelah melakukan pertemuan dengan orang lain. 

Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Perubahan imbauan social distancing atau physical distancing sebenarnya tak akan berpengaruh banyak jika pesannya tak bisa diterima secara jelas oleh masyarakat. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah mengatakan, pemerintah latah dengan ungkapan-ungkapan yang disampaikan dalam bahasa asing. 

"Padahal persoalannya kan bukan di situ (ungkapan social distancing atau physical distancing) kok. Persoalannya itu adalah bagaimana memperlambat penyebaran penyakit COVID-19 ini," kata Trubus kepada VOI saat dihubungi lewat telepon, Senin, 23 Maret.

Baginya, penggunaan imbauan manapun tak akan berguna jika masyarakat tak paham soal pentingnya menjaga jarak untuk pencegahan COVID-19. Apalagi, Trubus menilai, ketidakpahaman masyarakat terkait menjaga jarak kerap terjadi di lingkungan publik. Masih banyak publik yang berdiri ataupun duduk, bahkan bergerombol dan berpotensi menimbulkan penyebaran virus tersebut.

"Inilah yang menjadi penyebab penyakit corona ini terus menyebar, karena apa, masyarakat tidak paham. Penjelasannya tidak masuk," tegasnya.

Trubus juga mempertanyakan, mengapa pemerintah tak mau menggunakan istilah yang sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan? Padahal, dalam UU yang diteken Presiden Jokowi pada 7 Agustus 2018 sudah ada istilah soal karantina ataupun pembatasan sosial. 

Diketahui, dalam UU Nomor 6 Pasal 1 dijelaskan, yang dimaksud dengan karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, alat angkut, atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang di sekitarnya.

Sedangkan isolasi yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.

Sementara untuk bahasa social distancing atau physical distancing, sebenarnya dalam UU tersebut bisa dipadankan dengan pembatasan sosial berskala besar. Adapun artinya adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Sehingga, berkaca dari istilah di atas yang sudah cukup jelas maka tak perlu bagi pemerintah untuk mengadopsi ungkapan asing. Karena belum tentu bahasa asing itu bisa dipahami secara jelas oleh masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat berpenghasilan rendah.

"Merujuk dari UU itu saja, kan bahasanya juga sudah diakui. Enggak usah menggunakan bahasa di luar itu," ungkap Trubus.

"Jadi tak perlu lagi berdebat soal konsep atau istilah, yang penting bagaimana penyakit ini bisa diperlambat dalam kondisi secepat ini," imbuh dia.