Budaya Ganja Nusantara: Dari Kesehatan hingga Spiritualitas
Ilustrasi (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah masalah yang dipungkiri negeri ini. Tak hanya kaitannya dengan pemanfaatan ganja. Artikel "Asal Muasal UU Narkotika di Indonesia dan Segudang Masalah di Baliknya" telah menjelaskan bagaimana UU ini jauh dari efektif memberantas narkotika. Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Jangan Panik Ini Organik". Kali ini kita lihat eratnya kehidupan masyarakat Indonesia dengan ganja, dari generasi ke generasi. Bahwa budaya ganja Nusantara bukan mitos belaka.

Fidelis Arie Sudewarto tak dapat berbuat banyak ketika petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat menangkapnya pada 19 Februari 2017. Dari Fidelis, BNN menyita 39 batang pohon ganja yang ia tanam sebagai pengobatan sang istri, Yeni Riawati yang menderita syringomyelia. Sejak itu, upaya Fidelis merawat Yeni berhenti. Beberapa pekan setelah penangkapan, 25 Maret 2017, Yeni meninggal dunia.

Upaya merawat Yeni dengan ekstrak ganja dilakoni Fidelis sejak akhir 2016. Dan sejak itu, kondisi Yeni terus membaik. Sebelum diobati ganja, kondisi Yeni memprihatinkan. Sulit tidur, jelas. Selain itu, Yeni juga mengalami masalah buang air hingga perutnya membesar. "Urine yang dikeluarkan juga bercampur dengan darah kental berwarna kehitaman," tutur Yohana La Suyati, kakak kandung Fidelis, ditulis Kompas.com, Selasa, 4 April 2017.

Selain itu, Yeni juga mengalami susah makan. Apapun makanan yang ditelan akan dimuntahkan kembali tak berselang lama. Selain itu, Yeni juga menderita luka di pinggang tengah bagian belakang. Luka yang cukup dalam hingga tulang Yeni terlihat. Luka itu semakin parah dan meluas. Luka itu mendera Yeni luar biasa. Ia kerap kali berteriak menahan rasa sakit. Tak hanya itu, tangan kiri dan kedua kaki Yeni juga tak dapat digerakkan.

Ganja mengubah keadaan tersebut. Sejak diobati dengan ekstrak ganja, Yeni bisa tertidur pulas. Selain itu, nafsu makan Yeni meningkat. Ia tak lagi memuntahkan makanannya. Pencernaan Yeni juga membaik. Buang air kecil ataupun besar kembali lancar. Lebih ajaib, lubang-lubang pada luka-luka Yeni pun menutup dengan tumbuhnya daging-daging baru di tubuh Yeni. Sejak pengobatan ganja, Yeni juga mulai bisa berkomunikasi kembali, bahkan bernyanyi.

"Luka dekubitus di pinggang belakang yang sangat besar ukurannya, sekitar satu kepalan tangan orang dewasa, yang tulangnya kelihatan, sudah dapat menutup kembali dan permukaannya mengering," kata Yohana.

Yeni kehilangan Fidelis, satu-satunya perawat yang paling handal. Yeni juga kehilangan ganja, pengobatan yang membantu tubuhnya bekerja lebih optimal untuk melawan kista berisi cairan (syrinx) di sumsum tulang belakangnya. "Hanya Fidelis yang tahu bagaimana cara merawat istrinya itu sehingga ketika dia ditahan, kami keluarga juga tidak bisa berbuat banyak. Karena selama ini semuanya dia lakukan sendiri cara perawatannya, termasuk mengatur suhu di kamar," tutur Yohana.

Budaya memanfaatkan ganja untuk kesehatan sejatinya telah dilakukan sejak dahulu kala. Di Aceh, beberapa masyarakat bahkan masih memanfaatkan rebusan akar ganja sebagai pengobatan untuk penyakit diabetes. Kisah ini dituturkan oleh Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Berdasar hasil observasi lapangan serta penelitian panjang pada literatur terkait pemanfaatan ganja medis, LGN pun mengajukan kolaborasi penelitian ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Sayang, sejak diajukan bertahun-tahun lalu, penelitian tak kunjung berjalan. Badan Narkotika Nasional (BNN) yang paling mungkin menyediakan ganja untuk penelitian menolak terlibat. BNN berpegang pada Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa ganja sebagai narkotika golongan satu tak dapat dimanfaatkan untuk perihal apapun, termasuk medis. BNN bahkan memiliki versi berbeda, bahwa ganja justru merusak kesehatan.

“Para peneliti sebelumnya telah melihat dampak buruk tersebut. Otak itu kaya dengan oksigen, jika oksigen terkena ganja, maka oksigen terikat oleh tetrahydrocannabinol atau THC maka bisa menyebabkan pengapuran di sel otak sehingga sel itu akan mati. Berapa sel yang mati tidak akan sehat kembali, hanya sisanya yang bisa mengikat oksigen,” kata Kepala Pusat Laboratorium Narkotika BNN Mufti Djusnir dalam keterangannya.

Entah peneliti mana yang dimaksud BNN. Yang jelas, lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (AS), Food and Drug Administration (FDA) telah menyatakan kandungan cannabidiol atau CBD dalam tanaman ganja mampu dimanfaatkan menjadi obat kejang akibat epilepsi. Mengutip tulisan CNN Indonesia yang melansir HowStuffWorks, Joshua Kaplan, peneliti ganja dari Western Washington University menyebut CBD sebagai senyawa yang sangat selaras dengan kerja tubuh manusia.

CBD bekerja mengaktifkan reseptor serotonin yang berperan penting mengobati kecemasan. Menariknya, CBD identik endocannabinoid, senyawa kimia yang secara alami diproduksi di dalam otak manusia. Endocannabinoid memberi pengaruh besar dalam mengontrol motorik, kognisi, emosi, hingga perilaku seseorang. Artinya, setiap orang memiliki "ganja" di dalam dirinya masing-masing. "Sistem serotonin berperan penting untuk mengobati kecemasan," kata Kaplan.

Ganja Nusantara

Budaya ganja Nusantara dimulai sejak ia tumbuh. Dahulu, tanaman ganja cukup mudah ditemukan. Tak hanya di Aceh dan wilayah lain di Sumatera, tapi juga di Ambon, Jakarta (Batavia), hingga Bogor (Buitenzorg). Hal itu terungkap di lembaran Fakta Ganja di Indonesia yang dirilis oleh Transnational Institute.

“Tampaknya, selama akhir abad ke-19, ganja masih belum dikenal di kalangan masyarakat Jawa. Namun, ada asumsi bahwa tanaman itu mungkin saja telah dibudidayakan di pulau tersebut (Jawa), mengingat keakraban masyarakat setempat dengan istilah-istilah seperti ganja, gandja, atau gendji,” tertulis.

Sekalipun budidaya ganja di kepulauan Indonesia tak begitu populer, ganja nyatanya tetap ditanam di Ambon dengan biji yang didapatkan dari Jawa. Karenanya, masyarakat di Ambon dan sekitarnya banyak yang memanfaatkan ganja. Salah satunya dengan cara mengonsumsi akar ganja untuk mengobati gonorea.

Sementara itu, bagian daunnya kadang-kadang dicampur dengan pala dan diseduh sebagai teh untuk tujuan mengurangi gangguan asma, nyeri dada pleuritik serta sekresi empedu. Dalam kaitan ganja dengan budaya Nusantara, buku Herbarium Amboinense (1741) karya ahli botani Jerman-Belanda, G.E. Rumphius dapat dijadikan rujukan. Ia menjelaskan keakraban masyarakat dengan beragam olahan ganja, baik penggunaan ganja untuk rekreasi, medis dan bumbu masakan.

Budayawan Aceh, Tungang Iskandar membenarkan hal itu. Menurutnya, masyarakat Indonesia, khususnya Aceh sudah akrab dengan pemanfaatan ganja secara turun-temurun. Selain itu, ia berucap terkait fungsi ganja sendiri dalam konteks masakan itu berguna agar daging menjadi empuk dan menyedapkan makanan.

“Saya pikir itu (pemanfaatan ganja) sudah bukan rahasia lagi. Bahwa, dalam praktiknya, orang Aceh memang sudah sejak lama menggunakannya. Dalam masakan, misalnya. Biji ganja memang sering dipakai dalam kuah, tidak terkecuali dalam kuah-kuah yang dimasak untuk ritual-ritual khusus yang mana pada setiap masak besar laki-laki menjadi juru masaknya,” katanya, saat dihubungi VOI, Senin, 17 Februari lalu.

Selain sebagai medis dan konsumsi makanan, ganja juga banyak dimanfaatkan dalam aktivitas perkebunan. Di banyak ladang di berbagai daerah, ganja ditanam di antara tanaman lain sebagai penghalau hama. "Kalau kita bicara sistem pertanian, tanaman ganja, itu ada tanaman-tanaman yang sifatnya daya tarik buat hama. Jadi, kalau misalnya kita tanam sayur, tanam kangkung, bayam, ini nih kayak belalang, bekicot, itu suka banget," tutur Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Dhira Narayana dalam program Era in Podcast beberapa waktu silam.

"Nah, kalau kita tanam ganja itu, biasanya dia (hama), kecenderungan binatang-binatang itu ke ganja. (Ganja) Mengalihkan. Sama kayak orang. Kalau orang ada ganja ada bayam, pilih mana? Ganja kan? Jadi, dia kecenderungannya lari ke situ (ganja). Jadi, tanaman-tanaman yang bayam, kangkung itu lebih segar," tambah Dhira.

Tak hanya dalam hajat hidup harian. Ganja juga digunakan masyarakat Nusantara untuk ritual. Fakta itu terlihat dari relief gambar daun ganja yang ditemukan di Candi Kendalisodo yang berada di Gunung Penanggungan, Mojokerto. Relief daun ganja itu terletak di tingkat dua Candi Kendalisodo. "Ini juga lagi diteliti secara artefak. Jika itu daun ganja, berarti di Jawa itu jauh lebih tua mengenal tanaman ganja dibanding bukti di Aceh," tutur Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara Inang Winarso, dilansir BBC Indonesia, 20 Februari.

Artikel Selanjutnya: Hasan Tiro dan Asas Manfaat Ganja Aceh dalam Periode Konflik GAM