Asal Muasal UU Narkotika di Indonesia dan Segudang Masalah di Baliknya
Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Bagikan:

Kita telah menghapus paranoid terhadap legalisasi ganja dengan memahami konsepnya lewat artikel "Karena Legalisasi Ganja Bukanlah Nyimeng Sembarangan". Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Jangan Panik Ini Organik". Lewat artikel ini kita akan melihat kelahiran Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, produk hukum yang jadi tembok penghalang upaya legalisasi ganja. Tak cuma itu. UU ini nyatanya juga memunculkan masalah lain dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkoba itu sendiri.

Wajah Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah lusuh. Dalam konteks pemanfaatan tanaman ganja, ia telah kehilangan relevansinya. Dalam konteks pemberantasan penyalahgunaan narkotika, UU 35/2009 makin terasa tak masuk akal. Ia bukan instrumen penegak hukum, melainkan pedang buta yang tak kenal keadilan.

Sejak awal, UU 35/2009 adalah masalah. Ia tak pernah dilahirkan secara daulat oleh pemerintah Indonesia. UU 35/2009 lahir dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1961. Kala itu, PBB menetapkan sebuah produk hukum yang wajib diratifikasi oleh Indonesia dan negara-negara anggota PBB lainnya.

Bagi Indonesia, ratifikasi itu otomatis mencabut hukum kolonial Verdoovende Middelen Ordonnantie, digantikan dengan UU 9/1976. Sejak itu, pemidanaan terhadap pengguna narkoba dimulai. Ganjarannya tak main-main. Dari penjara hingga tiket ke alam baka. Setelahnya, Indonesia kembali mengubah hukum nasional tentang narkotika. Acuannya sama: konvensi PBB.

Perubahan pertama adalah pengesahan konvensi PBB tentang Psikotropika tahun 1971. Ratifikasi itu diadopsi ke dalam pemberlakuan UU 5/1997 tentang Psikotropika. Selanjutnya, berbekal hasil konvensi PBB tahun 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotik dan Psikotropika, Indonesia melakukan perubahan terhadap UU 5/1997 menjadi UU 22/1997 tentang Narkotika. 

Terakhir, Indonesia mengubah UU 22/1997 ke dalam UU 35/2009 tentang Narkotika. Perubahan terakhir inilah --notabene masih berhaluan pada konvensi PBB 1988-- yang jadi landasan hukum pemberantasan narkotika hingga hari ini. Selain itu, perubahan tersebut juga menetapkan Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga negara yang khusus menangani pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Pemberatan hukuman juga diberlakukan berdasar UU ini.

Ironi pemikiran yang tertinggal

Dalam konteks pemanfaatan tanaman ganja, UU 35/2009 adalah ironi. Bagaimana tidak. Ketika negara-negara lain penentu hasil konvensi PBB telah melegalisasi dan memanfaatkan ganja, Indonesia malah bergeming di pola pikir usang hasil konvensi masa lalu.

Amerika Serikat (AS), misalnya. Hingga Oktober tahun lalu, AS telah meregulasi ulang kebijakan ganja. 46 negara bagian AS telah melegalisasi pemanfaatan ganja untuk berbagai macam tujuan. Dari keperluan medis hingga rekreasi macam yang ditetapkan diberlakukan di Washington DC, Alaska, California, Coloradi, Maine, Massachusetts, Nevada, Oregon, hingga Vermont.

Negara pemegang hak veto lainnya, Inggris juga telah mengubah jauh haluan kebijakan narkotikanya. Inggris kini adalah salah satu negara dengan pasar penjualan cannabis yang terbilang besar. Biji ganja jadi komoditas yang mencatatkan permintaan tertinggi. Meski begitu, Inggris belum sepenuhnya mereformasi keberadaan ganja dalam UU Narkotika mereka. Maka, meski diperjualbelikan, penggunaan ganja tak dapat dilakukan secara luas.

Di Asia, China jadi salah satu negara yang paling berhasil mendayagunakan ganja. Data World Intellectual Property Organization (WIPO) mencatat, Negeri Tirai Bambu mendominasi paten ganja dengan jumlah 309 dari 606 paten yang tercatat di data WIPO.

Negara Asia lainnya, Thailand telah mengikuti langkah China dalam mendayaguna ganja. Di Negeri Gajah Putih, legalisasi ganja ditujukan untuk perkara medis. Tetangga yang paling dekat, Malaysia juga tengah gencar menuju legalisasi ganja medis. 

Setiap negara yang melegalisasi ganja memiliki tujuan yang berbeda-beda. Namun, ada satu benang merah yang melatari semangat negara-negara tersebut mederegulasi kebijakannnya tentang ganja, bahwa mereka telah membuka mata, melihat bahwa ganja bukan bagian dari narkotika.

Perubahan itulah yang tengah dikejar oleh Maruf Bajammal, seorang advokat yang mewakili Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Bersama sejumlah lembaga sosial masyarakat lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, Maruf maju ke Mahkamah Konstitusi (MK), mengajukan pengujian terhadap UU 35/2009.

Salah satu poin yang dikejar adalah mengeluarkan ganja dari golongan satu narkotika, bersama heroin, kokain, morfin, hingga opium. Narkotika golongan satu adalah yang paling berbahaya. Di mata UU, segala narkotika dalam golongan ini tak boleh dimanfaatkan untuk apapun. Maka, mengeluarkan ganja dari golongan satu adalah langkah awal dari pendayagunaan tanaman lima jari.

"Kemudian pelarangan narkotika untuk golongan apapun itu, untuk kepentingan medis, itu menurut kami melanggar hak konstitusional setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan," kata Maruf kepada VOI, beberapa waktu lalu.

Ironi pedang buta

Dalam prinsipnya, UU Narkotika dibuat untuk memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika. Namun fungsinya bergeser menjadi sangat represif. Penegakan hukum lebih menitikberatkan kepada pendekatan penghukuman (punitif). Hukum jadi pedang buta. Boro-boro menimbulkan efek jera. Penegakan hukum berlandas UU 35/2009 nyatanya justru meningkatkan tingkat kriminalitas yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika. 

Menurut Maruf, permasalahan yang timbul itu karena adanya inkonsistensi ketentuan UU Narkotika. Maruf menjelaskan ada yang tidak konsisten dalam upaya pengendalian narkotika. Dalam UU Narkotika itu sebenarnya ada semangat rehabilitatif. Namun, implementasi penegakan hukumnya bergeser malah memprioritaskan penghukuman pidana. 

Maruf mengatakan hal itu bisa terlihat dalam menentukan kriteria siapa pemakai dan siapa penjual. Hal itu bisa dilihat salah satunya dari seberapa banyak orang memiliki "barang". Seharusnya mereka yang menjadi pengguna narkoba, besar kemungkinannya dibawa ke tempat rehabilitasi. Selain itu, pasal karet dalam UU 35/2009 juga jadi masalah. Bahkan ada putusan mahkamah agung yang menyatakan bahwa ada pasal keranjang sampah di UU Narkotika.

"Tapi ketika orang yang baru ditangkap kemudian oleh penegak hukum, itu sangat minim diberikan rehabilitasi ... Semua orang bisa kena pasal itu," kata Maruf. 

Ketidakjelasan mendefinisikan siapa pemakai atau pengguna narkotika juga membuat cabang masalah lain, yakni munculnya hukum transaksional. Masalah ini berkaitan dengan hanya orang tertentu yang bisa mengakses pendekatan rehabilitasi.

"Mereka yang dapat mengakses rehabilitasi itu lazimnya hanya orang-orang yang punya kekuatan secara finansial ataupun kekuatan secara status. Transaksionalnya di situ," beber Maruf. 

Omongan Maruf bukan pepesan kosong. Ia pernah beberapa kali menangani kasus seperti yang disebutkan sebelumnya. Ia menjelaskan pernah mendapati pengguna narkoba dengan barang bukti sangat minim, tapi ia tetap diproses pidana. Padahal ada alasan-alasan tertentu mengapa ia menggunakan narkoba. Namun hal itu sama sekali tidak digubris oleh pihak berwenang. Upaya pengajuan rehabilitasi pun mentah.

"Karena ini menjadi kewenangan sepenuhnya penyidik, untuk mau atau tidak merehabilitasi para terduga pelanggar tindak pidana narkotika ini. Di situ letaknya (transaksional)," jelas Maruf.

Pedang buta ini merembet ke persoalan lain. Terkait over capacity, misalnya. Merujuk data lembaga pemasyarakatan, hampir 90 persen orang yang menjadi narapidana didominasi oleh perkara narkotika. Ironis.

Artikel Selanjutnya: "Budaya Ganja Nusantara: Dari Kesehatan hingga Spiritualitas"