أنشرها:

JAKARTA - Kejenuhan kerap menjangkiti kehidupan orang Belanda di Batavia. Ketiadaan hiburan memadai jadi musababnya. Mereka pun coba mendobrak kekakuan. Kebiasaan orang Belanda yang umumnya dikenal hemat mulai berubah. Mereka kemudian melanggengkan sikap foya-foya.

Pesta pora jadi opsi yang paling masuk akal untuk menghibur diri. Pestanya bermacam-macam. Pesta kostum, misalnya. Pesta itu mengundang rasa antusias tinggi. Sebab, dalam satu hari mereka dapat menirukan siapa saja, tanpa terkecuali.

Orang Belanda sering kali menganggap hidup jauh dari kampung halaman adalah sebuah masalah. Mereka menyebut Batavia laksana negeri antah-berantah. Hiburannya serba terbatas. Harapan hidup rendah. Apalagi warganya yang masih relatif sedikit di fase awal masa penjajahan lewat panji Maskapai Dagang Belanda, VOC.

Opsi yang paling banyak ada di tiap kepala orang Belanda adalah lekas menabung untuk pensiun dan kembali ke Negeri Kincir Angin. Namun, tak semua berpikiran segera pensiun. Beberapa di antara malah memilih untuk mendobrak kebiasaan yang ada.

Gedung Societeit de Harmonie, tempat kaum sosialita di Batavia pada masa penjajahan Belanda menggelar pesta. (Wikimedia Commons)

Alih-alih pasrah terhadap takdir, mereka pun mencoba mendobrak kekakuan. Pilihannya ada dua. Kebiasaan berhemat segera dibuang jauh-jauh atau hidup sepanjang usia diliputi kejenuhan. Foya-foya akhirnya jadi pilihan. Mereka paham gaji tinggi mereka takkan habis. Lagi pula, pungli (korupsi) sering kali jadi jawaban.

Mereka pun melanggengkan pesta pora. Pesta itu digunakan memuaskan hasrat butuh hiburan. Ajang pamer apalagi. Antara lain pamer kereta kuda, perhiasan, hingga baju termewah. Kebiasaan pesta terus berkembang hingga pemerintahan VOC berganti ke pemerintah Hindia-Belanda.

Pucuk dicinta ulam tiba. Empunya kuasa pun mencoba memfasilitasi orang Belanda yang doyan pesta dengan menghadirkan rumah pesta di Batavia. Societeit de Harmonie dan Societeit Concordia, namanya.

Interior Societeit Concordia, gedung yang terletak di sekitar Lapangan Banteng, Jakarta Pusat saat ini, namun bangunan ini sudah dibongkar pada 1960-an. (Woodbury and Page)

“Pesta peresmian Societeit de Harmonie muncul sebagai laporan utama di Java Gouvernment Gazette. Di situ diceritakan tentang ruang marmer yang luas dengan tiang-tiang indah, lampu-lampu Kristal yang bergantungan, cermin dindingdan patung-patung perunggu. Pestanya juga meriah. Dansa-dansi dimulai pukul 21:00 dan diseling untuk souper (makan larut malam).”

“Pada saat souper itu hubungan akrab antara pejabat Inggris dan Belanda dikokohkan dengan toast berulang-ulang. Kemudian banyak pesta besar diadakan di Harmonie. Hari ulang tahun Raja Belanda tanggal 24 Agustus juga selalu diperingati dengan pesta dansa meriah dan makan malam. Setiap anggota masyarakat Belanda yang terpandang, harus hadir di pesta itu,” tertulis dalam buku Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988).

Pesta Kostum

Pesta yang diadakan cukup variatif. Alias banyak jenisnya. Dari pesta dansa hingga pesta kostum. Konsep pesta kostum jadi yang banyak digilai oleh orang Belanda di Nusantara, utamanya Batavia. Semuanya karena keunikan dan keanehannya.

Akan tetapi, penyelenggaraan pesta kostum di Hindia-Belanda tak selalu dilakoni kala pesta Halloween semata. Pesta kostum dapat berlangsung justru tergantung empunya acara. Hajatan pesta kostum kerap dilakukan sebagai penanda ulang tahun emas pernikahan, ulang tahun, naik jabatan, dan pesta rutin.

Lokasi acara beragam. Kadang kala di rumah pribadi. Kadang pula dilanggengkan di Societeit de Harmonie atau Concordia. Penggemar pesta itu bejibun. Orang Belanda kerap membalut dirinya dengan pakaian aneh dan unik yang tak meninggalkan kesan pamer.

Kostum yang dikenakan saat pesta-pesta pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. (Wikimedia Commons)

Pesta kostum itu menghendaki mereka berperan sebagai siapa saja. Kaum laki-laki biasanya menghabiskan waktunya berjam-jam untuk mendandani diri supaya mirip Jan Pieterszoon Coen (peletak dasar kolonialisme Belanda di Nusantara) atau Napoleon Bonaparte (Kaisar Prancis).

Mereka pun mencoba sedikit akting menirukan pesohor idolanya. Kaum wanita tak mau kalah. Konsep-konsep kostum yang sebelumnya belum pernah terlihat, mampu dihadirkan. Persiapannya pun tak kalah rumit. Semuanya demi sukses jadi pusat perhatian seisi gedung pesta kostum.

“Topeng-topeng dan kostum-kostumnya seribu satu macam. Seorang lady datang dalam busana seekor walet, dengan hiasan kepala dan sayap terbuat dari bulu-bulu burung merdu sungguhan dari Anyer-dengan kata lain, burung-burung yang baru-baru ini terbang di langit vulkanik Selat Sunda yang bergejolak itu. Seorang lagi, La Madame la Diable, mengenakan sayap hitam dan tanduk bersalut emas serta gaun sutra hitam dan merah yang dihias dengan Jambang-lambang Lucifer.”

Kostum bergaya Timur Tengah yang dikenakan saat pesta-pesta kaum sosialita di Batavia pada masa penjajahan Belanda. (Wikimedia Commons)

“Ada seorang Carmen, seorang Louis XV yang menggandeng seorang gadis petani Italia, dengan tubuh montok dalam busana rok kotak-kotak dan lislis dari Genoa. Ada seorang toreador, rombongan rahib, dan sekelompok pelaut Inggris dari kapal perang Royal Navy yang kebetulan sedang singgah, yang oleh tiap orang dikira pakaian aneh-aneh, padahal sebenarnya mereka memakai seragam resmi lengkap,” ungkap Simon Winchester dalam buku Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 (2006).


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)