JAKARTA - Keputusan kandidat Presiden AS, Donald Trump untuk mengusung James David Vance atau J.D. Vance sebagai calon wakil presiden pada Pilpres AS 2024 5 November mendatang mengundang kejutan. Selain Vance sebelumnya dikenal sebagai sosok yang berseberangan dengan Trump, dia juga masih berusia muda.
Seandainya bersama Trump kembali terpilih menjadi pemimpin Amerika Serikat, sebagai wakil Vance akan berusia 40 tahun 5 bulan saat dilantik pada 20 Januari 2025. Dia bakal menjadi wakil presiden termuda ketiga di Negeri Adi Daya itu setelah John Cabell Breckinridge, yang menjadi wakil dari Presiden AS ke-15 James Buchanan (1857-1861), dan Richard Nixon saat menjadi wakil Dwight Eisenhower sebagai Presiden AS ke-36 pada 1953-1961.
Breckinridge masih berusia 36 tahun 47 hari ketika dilantik sebagai Wapres AS, sementara usia Nixon adalah 40 tahun 11 hari saat resmi menjabat sebagai Wakil Presiden Buchanan.
“Setelah pertimbangan dan pemikiran yang panjang, Vance adalah orang terbaik yang paling cocok untuk menduduki posisi Wakil Presiden Amerika Serikat,” tulis Trump di platform medsos miliknya, Truth Social.
Alasan Trump memilih Vance yang kini Senator Negara Bagian Ohio, karena politikus muda itu dianggap mewakili gerakan populis sayap kanan yang dicetuskan Trump. Vance dipandang lebih sat-set ketimbang tokoh-tokoh senior yang cenderung konservatif. Trump memang masih mengagungkan kredonya: MAGA atau Make America Great Again.
Trump perlu menggaet suara dari para pendukung fanatik MAGA, yang tersebar di wilayah Rust Belt. Ini istilah bagi negara-negara bagian di Amerika Serikat yang mengalami degradasi ekonomi akibat industri model “jadul” yang mulai ditinggalkan, seperti: pertambangan batubara, otomotif, manufaktur, maupun pabrik baja.
Trump memang populer wilayah-wilayah tersebut, seperti Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania. Tetapi kredo MAGA yang dia usung juga punya banyak dukungan di industri berbasis teknologi informasi, yang dikuasai orang-orang kaya baru di Silicon Valley.
Transformasi Dukungan
Vance tepat untuk mengambarkan sebuah kebangkitan ekonomi. Dia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang berantakan di Mideletown, Ohio. Orang tuanya bercerai saat Vance masih balita. Dia dibesarkan kakek dan neneknya, karena ibunya adalah pencandu narkoba.
Lingkungan tempat dia tinggal kurang kondusif secara sosial dan ekonomi, namun Vance mampu lepas dari belenggu itu. Dia lulus summa cum laude sebagai sarjana ilmu filsafat politik dari Ohio State University, kemudian mengambil pendidikan hukum di Yale Law School. Dia juga sudah mengabdikan diri sebagai anggota Marinir dengan pangkat kopral, dan bertugas di Perang Irak.
Pada masa awal kemunculan di politik, Vance mengatakan dirinya anti Trump. Hal itu dia nyatakan saat peluncuran biografinya yang laris manis, Hillbilly Elegy, pada 2016. Biografi tersebut sudah difilmkan dengan judul sama, dan ditayangkan di Netflix.
“Saya bukanlah orangnya Trump, dan saya tidak pernah menyukainya. Menurut saya, dia seorang idiot dan tercela,” ujar Vance dalam wawancara dengan BBC.
Tapi tak lama kemudian, pandangannya berbalik 180 derajat. Kepada seorang teman Facebooknya, Vance menulis begini: “Pikiran saya terombang-ambing, antara menilai Trump adalah seorang brengsek atau Hitler-nya Amerika.”
Setelah beberapa tahun, Vance terang-terangan mengukuhkan diri bahwa dirinya adalah sekutu setia Trump. Dan sang kandidat Presiden AS itu pula yang mendukung pencalonan Vance sebagai Senator Ohio.
Metamorfosis Vance dari seorang penentang berubah jadi pendukung militan Trump menjadi isu hangat di media. Vance sangat gencar menentang bantuan AS kepada Ukraina untuk melawan Rusia, dan itulah awal klan Trump tertarik kepadanya.
اقرأ أيضا:
Sikap Vance yang blak-blakan membuat Trump lebih memilihnya, ketimbang kandidat wapres lain macam Doug Burgum (Gubernur North Dakota), Glenn Youngkin (Gubernur Dakota), Marco Rubio (Senator Florida) yang populer di kalangan hispanik, dan Senator Tim Scott dari South Carolina yang populer di kalangan pemilih kulit hitam.
Berani Terus Terang
Tak pelak lagi, kiprah politikus muda saat ini memang semakin hot. Selain Vance di Amerika Serikat, contoh lain adalah Gabriel Attal, PM Prancis yang masih berusia 35 tahun. Ada juga Ibrahim Traore, Presiden Burkina Faso yang masih berusia 36 tahun, Daniel Noboa (36 tahun) Presiden Ekuador, Milojko Spajic (36 tahun) PM Montenegro, atau Gabriel Boric (38 tahun) yang menjabat Presiden Chile sejak 2022.
Contoh lain yang paling dekat dengan rakyat Indonesia tentu saja Gibran Rakabuming Raka. Saat dilantik pada 22 Oktober mendatang, Wapres dari Presiden Terpilih Prabowo Subianto itu masih berusia 37 tahun.
Keterusterangan dan sikap blak-blakan adalah salah satu indikator dari sepak terjang para politikus muda. Simak apa yang dilontarkan Vance, hanya dua hari setelah insiden penembakan Trump di Butler, Pennsylvania pada 13 Juli lalu.
“Penembakan itu bukanlah insiden tersendiri. Premis utama kampanye Biden adalah bahwa Presiden Donald Trump adalah seorang fasis otoriter yang harus dihentikan dengan cara apa pun. Retorika tersebut mengarah langsung pada percobaan pembunuhan Presiden Trump,” ujar Vance melalui platform X pada 14 Juli.
Atau simak pidato Noboa pada 16 November 2023, setelah terpilih sebagai Presiden Ekuador.
“Saya mempunyai ciri sedikit bicara, namun bermakna. Saya selalu diberi waktu lama untuk berpidato, namun selalu saya selesaikan hanya dalam tiga atau empat menit. Jalan menuju puncak tertinggi, menjadi presiden memang penuh tipu daya. Tapi itulah sifat asli manusia,” ujar Noboa.
Atau Spajic yang melontarkan ide pembentukan pengadilan antikorupsi di Montenegro. Idenya itu dimaksudkan untuk menyingkirkan politikus-politikus pro Serbia, yang berusaha mencegah Montenegro bergabung dengan Uni Eropa dan tetap condong ke Rusia.
J.D. Vance memang paling agresif mengejar ambisi dibandingkan pesaing-pesaingnya. Itu juga yang dilakukan Noboa serta pemimpin-pemimpin muda dunia lainnya. Energi mereka menggebu-gebu, penuh semangat, dan itu pula seharusnya yang ditunjukkan Gibran jika sudah resmi menjabat Wapres RI nanti.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)