JAKARTA - Pada 7 Juli 2022, menjelang maghrib sekitar pukul 17.30 WIB saat di Magelang, Brigadir J masuk ke kamar Putri Candrawathi. Entah apa yang dilakukan Brigadir J di dalam. Selang beberapa waktu, dia keluar dan berjalan mengendap-endap.
Kuwat memergokinya dan langsung menegur, “Kenapa masuk ke kamar ibu? Kemudian (Brigadir J) lari.”
Kuwat langsung mengejar Brigadir J sambil menggenggam pisau dapur di tangannya. Aksi pengejaran ini diketahui oleh Susi, salah satu Asisten Rumah Tangga keluarga Ferdy Sambo yang ikut ke Magelang.
Setelah itu, menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah saat Live Update Kompas.com bertajuk ‘Kronologi Versi Putri Candrawathi Soal Dugaan Pelecehan yang Dilakukan Brigadir J, Minggu (4/9), Susi menemukan Putri Candrawathi berada di depan pintu kamar mandi. Bersama Kuwat Maruf, Susi mengantar Putri kembali ke kamar pribadinya.
Kepada Siti, Putri mengaku telah dilecehkan oleh Brigadir J di kamarnya saat di Magelang. Putri juga diancam dibunuh bila menceritakan apa yang dialaminya. Ancaman juga ditujukan kepada anak-anak Putri.
Usai pelecehan tersebut, Putri menghubungi suaminya yang sudah lebih dulu kembali ke Jakarta. Namun, kata Siti, tidak diceritakan detail terkait pembicaraan dengan suaminya.
“Tidak detail, hanya menyampaikan bahwa ada perilaku kurang ajar dari J, tapi detailnya akan diceritakan di Jakarta. Sesampainya di Jakarta barulah diceritakan detail yang membuat Sambo marah dan memanggil para ajudannya,” tutur Siti.
Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, Putri Candrawathi pun mengungkapkan ingin bunuh diri. Dia merasa tertekan, takut, dan menyesal atas kejadian yang sudah menimpanya.
"Ini disampaikan berkali-kali," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM pada 1 September 2022.
Melansir Kompas.com, sejauh ini, sudah empat kali Komnas Perempuan menemui Putri Candrawathi. Pada pertemuan pertama dan kedua, Putri belum bisa mengungkapkan apapun, masih menunjukkan indikasi trauma.
“Masih menangis terus tanpa suara, beberapa hal dijawab dengan bahasa anggukan atau kedipan,” ujar Siti Aminah.
Baru pada pertemuan ketiga dan keempat, Putri bisa menceritakan apa yang dialaminya. Namun, tetap menunjukkan ketidakstabilan psikologis. Emosi Putri sering meluap saat menceritakan peristiwa pelecehan tersebut.
“Saat bercerita, tangannya saling menggenggam kencang. Ini menunjukkan indikasi trauma sebagai korban sekaligus penyintas kekerasan seksual,” Siti Aminah menambahkan.
Selain terhadap Putri, Komnas Perempuan juga memeriksa Susi dan Kuwat Maruf. Juga, menyesuaikan keterangan kekasih Brigadir J, Vera Simanjuntak dengan keterangan Kuwat.
Itulah alasannya, Komnas Perempuan menyimpulkan dugaan kuat telah terjadi pelecehan seksual kepada Putri Candrawathi yang dilakukan oleh Brigadir J ketika di Magelang.
“Benar atau tidaknya menjadi tugas kepolisian untuk penyidikan. Kami hanya memberikan rekomendasi untuk didalami,” imbuh Siti.
Penuh Keraguan
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi meragukan keterangan Komnas Perempuan. Ketika rekonstruksi, PC masih bertanya kepada RR keberadaan Brigadir J. Kemudian, Brigadir J masuk ke kamar menemui PC.
Kalau memang terjadi pelecehan seksual, kenapa Putri Candrawathi tidak mengusir Brigadir J? Terlebih, dalam pengakuan Komnas Perempuan, Putri menunjukkan indikasi trauma. Yang meragukan lagi, kenapa Putri tidak langsung melapor polisi usai kejadian?
"Dia kan istri jenderal, kalau telepon polisi pasti langsung datang. Kalau sekarang kan enggak ada yang bisa dibuktikan, tidak scientific," ujar Edwin saat dihubungi, Senin (5/9).
اقرأ أيضا:
Pengacara keluarga Brigadir J, Kamarudin Simanjuntak tidak sependapat dengan motif tersebut. Saat di Magelang, Putri sempat berkomunikasi dengan adik Brigadir J via WhatsApp. Mengajaknya datang ke Magelang hingga mengirimkan foto Brigadir J yang sedang menyeterika baju.
"Artinya di situ Ibu Putri tidak ada masalah? Tidak terguncang. Kemudian adiknya juga menyampaikan selamat ulang tahun perkawinan yang ke-22," katanya kepada VOI beberapa waktu lalu.
Aktivis perempuan Irma Hutabarat pun menganggap apa yang disampaikan Putri Candrawathi merupakan rekayasa. “Korbannya adalah Yosua, sekarang seolah dibalik PC juga sebagai korban.”
Kacamata Hukum
Dalam kasus pelecehan seksual, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar meminta penyidik lebih berhati-hati. Terlebih, sebelumnya Putri Candrawathi sudah menyampaikan berita bohong terkait lokasi pelecehan yang awalnya disebut di Duren Tiga, Jakarta.
Harus bertumpu juga ke logika dan kemungkinan-kemungkinan lain. Jangan hanya mengandalkan keterangan para tersangka. Sebab, dari relasi kuasa saja muncul pertanyaan, apakah seorang ajudan berpangkat Brigadir berani sampai gelap mata melakukan pelecehan seksual kepada istri atasannya yang menjabat Kadiv Propam dan berpangkat jenderal bintang dua?
“Sepertinya tidak logis. Harus cari kemungkinan lain, mungkinkah keduanya ada hubungan spesial?”
Kendati begitu, bila melihat dari sisi hukum memang ada perbedaan antara asas hukum pidana dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang baru disahkan DPR pada April 2022.
“Asas hukum pidana minimal ada dua alat bukti yang sah sedangkan dalam UU TPKS, satu alat bukti saja sudah cukup. Pengakuan korban sangat subjektif, bisa saja ngarang cerita, apalagi korbannya sudah meninggal,” ucapnya kepada VOI, Senin (5/9).
Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul 'Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas' di hukumonline.com menyatakan pelecehan seksual dalam KUHP dikenal dengan istilah perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP.
Pembuktian pelecehan seksual dalam hukum pidana adalah berdasar Pasal 184 KUHAP, menggunakan lima macam alat bukti: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjut, dan keterangan terdakwa.
“Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa Visum et Repertum, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP dan Pasal 133 ayat (1) KUHAP,” tulis Ratna.
Visum et Repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan.
Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut.
“Pada akhirnya, hakim yang akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan,” ucapnya.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)