JAKARTA - Suporter Arema FC boleh kecewa karena tim kesayangannya kalah 2-3 dari Persebaya dalam derby Jawa Timur pada 1 Oktober 2022. Terlebih, menjadi kekalahan pertama di kandang, Stadion Kanjuruhan melawan Persebaya Surabaya setidaknya dalam 23 tahun terakhir.
Rasa kecewa memang hal mafhum sebagai bentuk ketidak setujuan seseorang terhadap apa yang terjadi. Namun, kata Sosiolog Universitas Indonesia Ricardi S Adnan, bagaimana cara mengungkapkan kekecewaan tersebut, ini yang menjadi evaluasi.
Bila dilakukan secara anarkis, tentu merupakan pelanggaran. Berakibat fatal karena dampak yang muncul bisa merugikan orang lain. Bila dilampiaskan dengan cara yang positif, lazimnya lebih berarti karena akan membangun kreativitas baru untuk seseorang.
“Di sinilah tingkat kedewasaan diukur. Siap atau tidak kita menerima kekecewaan atau menerima kekalahan. Bila kita selalu melampiaskan kekecewaan secara negatif dengan mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain, berarti kita belum dewasa. Apalagi, bila sampai anarkis,” kata Ricardi kepada VOI, Minggu (2/10).
Tingkat kedewasaan terkait karakter. Di ranah rumah tangga, pola pendidikan karakter sebenarnya sudah berjalan lebih baik setidaknya dalam 20 tahun terakhir.
Saat ini, mungkin hampir tidak ada lagi orangtua yang memarahi anak-anaknya dengan kata-kata kasar. Orang tua berangsur memahami labelisasi ke anak cenderung akan membuat anak mengikuti apa yang sudah dilabelkan.
“Ketika anak dilabel sebagai anak nakal, ada kecenderungan anak akan menjadi nakal. Begitupun di sekolah. Kata-kata kasar telah berganti menjadi kata-kata motivasi,” katanya.
Sayangnya, pola pendidikan itu tidak terjadi di dunia publik. Para elite kerap mempertontonkan ketidakdewasaan dalam bersikap. Pemerintah pun, menurut Ricardi, tidak bersungguh-sungguh mendidik kedewasaan publik.
“Contoh kasus Pilgub Jakarta saja. Masih dipelihara cebong kampret, masih dipelihara para buzzer. Satu rumah saja bisa jadi ribut hanya karena beda pandangan soal politik saat itu,” ucapnya
“Padahal, paham politik saja belum tentu. Ini kan salah satu bentuk pemeliharaan ketidakdewasaan rakyat. Lebih miris lagi, para elite memanfaatkan dan terus memupuk itu untuk kepentingan pribadi dan golongannya,” Ricardi melanjutkan.
Saat ini pun, hujatan, cacian, makian masih terus dipertontonkan. Tidak hanya dalam dunia politik, dunia hiburan pun sama. Semakin sering ribut, semakin populer. Sehingga, jangan heran bila mentalitas anak bangsa akan semakin terpuruk. Hanya bisa menghakimi tanpa mau mengevaluasi diri.
Alhasil, bukan budaya persatuan dan kesatuan yang diterapkan, tetapi budaya perpecahan. Pendidikan karakter yang ada sekarang dengan revolusi mental, merdeka belajar, dan lainnya, hanya sekadar jargon.
“Penerapannya setengah-setengah, karena yang merumuskan mungkin juga punya kepentingan politik, bukan kepentingan untuk mencerdaskan bangsa. Realitasnya memang seperti itu,” imbuhnya.
Kedewasaan Terkait Kecerdasan
Tingkat kedewasaan terkait juga dengan kecerdasan. Seseorang yang memiliki kecerdasan akal dan hati lebih memiliki tingkat kedewasaan yang lebih tinggi.
Sayangnya, kata penulis sekaligus pemilik Sekolah Sepak Bola Sukmajaya, Supartono JW, kecerdasan menjadi barang langka dan mahal di Indonesia. Bagaimana bisa cerdas bila pendidikan terus mengalami keterpurukan, terutama terkait literasi.
Supartono menceritakan pengalamannya ketika menemui Sastrawan Taufik Ismail puluhan tahun lalu. Dia melontarkan pertanyaan terkait pendidikan Indonesia yang terus terpuruk, terutama minat membaca Indonesia.
Pengakuan Taufik Ismail, sekolah pada zaman penjajahan mewajibkan membaca minimal 25 buku selama tiga tahun. Itu terjadi hingga batas tahun 1950-an. Namun setelah itu, kurikulum pendidikan Indonesia tak lagi mementingkan humaniora hingga saat ini.
Padahal, membaca adalah gerbang ilmu. Menambah pengetahuan, wawasan, dan menanamkan budi pekerti yang baik bagi si pembaca.
Sehingga, bisa dibayangkan, bagaimana bisa menganalisis, bisa mengambil keputusan, bisa bersikap dewasa, cerdas pemikiran dan cerdas emosi, menguasai sains, bisa kreatif inovatif, dan imajinatif kalau malas membaca.
“Lebih sering hanya membaca judul, hampir seharian manteng di depan gadget dan hanya sibuk di area yang disukai. Maka apa yang terjadi? Jari-jari lebih lihai berkomentar tanpa memahami isi dari komentarnya. Tidak cerdas dan cermat,” tuturnya kepada VOI, Minggu (2/10).
Tengok pertandingan derby kota Manchester di Etihad Stadium pada 2 Oktober 2022. Meski kalah 3-6 dari rivalnya Manchester City, pendukung Manchester United tetap legowo. Tertinggal empat gol pada babak pertama saja, mereka lebih memilih angkat kaki dari stadion daripada mengucap sumpah serapah dan melakukan anarkis.
Ini adalah sikap sportif dan pilihan paling bijaksana, demi menjauhkan atau menghindarkan diri dari tindakan negatif, anarkis, dan lainnya.
“Hanya bisa dilakukan oleh manusia cerdas otak dan cerdas kepribadian karena rendah hati, tahu diri, mengukur diri, mengakui kelamahan tim kesayangannya, dan mengakui tim lawan unggul, serta sangat siap menerima kekalahan atau kemenangan,” ucapnya.
Berbeda dengan suporter Indonesia yang masih belum mampu menerima kekalahan.
“Sehingga dapat dipastikan, ulah negatif adalah produk kebodohan, ketidakcerdasan atau kelicikan. Ulah positif cermin kecerdasan karena kaya hati dan otak,” tutur Supartono.
Cermin Kegagalan Pemerintah
Paling tidak, itulah cermin kegagalan pemerintah dalam mengentaskan pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang dapat menentukan kualitas hidup seseorang. Generasi yang baik dihasilkan dari sistem pendidikan yang baik pula.
Sejauh ini, Indonesia hanya berada di peringkat ke-70 global dengan skor 46,4 dalam survey CEO World 2020 terkait negara dengan kualitas pendidikan terbaik dunia.
Survey dilakukan di 93 negara dengan mewawancarai 196.300 responden terkait kualitas pendidikan di negaranya masing-masing.
Responden berasal dari kalangan mahasiswa, profesor, dosen, peneliti, guru sekolah, pakar pendidikan, serta pekerja profesional dan pelaku industri. Indikatornya terkait sejumlah hal, antara lain, peringkat kampus tiap negara di tingkat global, profesionalitas pendidik, dan produk hasil penelitian.
Dalam daftar negara dengan sistem pendidikan terbaik pada 2021 pun Indonesia hanya menempati posisi 54 dari 78 negara. Sedangkan posisi teratas adalah Amerika dan Inggris.
Daftar diterbitkan oleh US News and World Report, BAV Group, dan Wharton School of the University of Pennsylvania. Penilaian dilakukan dengan mengumpulkan skor dari tiga atribut yang memiliki bobot yang sama.
Yakni, sistem pendidikan publik yang dikembangkan dengan baik, seberapa banyak orang yang melakukan atau mempertimbangkan ingin melakukan pendidikan perkuliahan di universitas, dan bagaimana negara menyediakan pendidikan berkualitas tinggi.
Tak hanya literasi, untuk menciptakan pola pendidikan yang baik dan berkarakter, kata Ricardi S. Adnan, para elite harus memberi contoh, baik elite di dunia politik, dunia pendidikan, maupun para pemilik modal.
“Revolusi mental harus tercermin. Kalau sekarang omong kosong. Kita selalu teriak berantas korupsi, tetapi realitasnya korupsi masih merajalela. Para pejabat saling mencaci. Tingkah inilah yang dicontoh oleh rakyat," ucapnya.
“Selama 77 tahun kita merdeka saja dunia pendidikan selalu bongkar pasang. Tidak jelas arah tujuannya mau kemana. Bagaimanapun, tanpa sistem pendidikan yang baik, tidak akan tercipta generasi yang baik. Memajukan suatu bangsa harus melalui pendidikan,” Ricardi menandaskan.
Insiden yang terjadi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 menyisakan duka mendalam, catatan kelam bagi dunia persepakbolaan Tanah Air. Data Dinas Kesehatan Malang 131 orang meninggal dunia. Tentunya, ini harus menjadi evaluasi total dalam seluruh aspek, baik dari kualitas penonton, aparat keamanan, maupun dari sisi kualitas sepak bola itu sendiri.
PSSI dan klub harus berperan aktif dalam melakukan pembinaan suporter.
Sehingga, pertandingan sepakbola bisa menjadi hiburan dan alat pemersatu bagi rakyat.