Ironi Sumpah Pemuda 2021: Orang Perkotaan Mulai Merasa Lebih Prestise Bicara Bahasa Inggris daripada Indonesia

JAKARTA - Penggunaan bahasa asing seperti bahasa Inggris mulai dianggap lebih prestise daripada bahasa Indonesia oleh sebagian masyarakat perkotaan. Beberapa fakta seperti menunjukkan bahasa Indonesia mulai terdegradasi. Apakah ini artinya kita mulai melupakan makna salah satu isi sumpah dalam Sumpah Pemuda, untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan?

Profesor Ariel Heryanto lewat akun Twitternya mengutarakan sebuah pengamatan yang telah dilakukan selama 20 tahun. Doktor antropologi lulusan Monash University Australia ini mengatakan anak-anak asal Indonesia yang tinggal di Australia kebanyakan hanya fasih berbahasa Inggris.

Sementara itu Ariel menceritakan imigran China masih tetap mengajarkan anak-anak mereka bicara Mandarin, bahasa ibu mereka, di percakapan sehari-hari. Begitu juga dengan imigran Jepang dan Arab.

"Di Australia, imigran RRC mengajar anak-anak mereka bicara Mandarin sehari-hari... Yang Jepang berbahasa Jepang. Yang Arab berbahasa Arab. Tapi anak-anak Indonesia kebanyakan cuma fasih berbahasa Inggris," tulis Ariel.

Memang potret ini masih bisa dibilang lumrah sebab mereka memang tinggal di negara yang sehari-harinya menggunakan bahasa Inggris. Tapi apa jadinya kalau bahasa Indonesia mulai terasa tak membanggakan lagi bagi bangsanya? Dan apesnya gejala-gejala itu mulai tampak.

Pada era globalisasi seperti saat ini memang kita tak bisa mengelak dari terpaan bahasa asing terlebih bahasa Inggris. Fenomena ini seperti pedang bermata dua. Satu sisi kemampuan menguasai bahasa Inggris penting adanya, tapi di sisi lain kita juga perlu menjaga identitas kita sebagai suatu bangsa.

Luasnya pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa-bahasa di dunia tercermin dari perkembangan jumlah penuturnya. Menurut catatan Alwasih pada 1985 penutur bahasa Inggris mencapai lebih dari 315 juta penutur asli, 300 juta penutur bahasa kedua, dan 100 juta penutur asing.

Padahal empat abad sebelumnya hanya lima sampai tujuh juta penutur asli. Selain jumlah penutur, indikator lain yang menyebabkan besarnya dominasi bahasa Inggris terhadap bahasa-bahasa lain di dunia adalah persebaran penduduk, ekonomi, kebudayaan dan ideologi. 

Dominasi bahasa Inggris

I Dewa Putu Wijana dalam Jurnal Humaniora Universitas Gadjah Mada menunjukkan jumlah kata asing, khususnya bahasa Inggris di dalam bahasa gaul Indonesia jauh lebih besar daripada istilah-istilah daerah yang ada di Indonesia. Sebaliknya, kalau ditelusuri jumlah kosa kata istilah slang bahasa Indonesia yang masuk ke dalam slang bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya "mungkin tidak ada, atau pasti jumlahnya sangat kecil," tulisnya.

Menurut Wijana semakin lama dominasi pemakaian bahasa asing di Indonesia semakin besar, dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan dan gaya hidup yang modern.

"Sekarang ini nama-nama orang dan produk, serta jasa yang berbau asing sudah tidak terhitung jumlahnya. Lama-kelamaan dominasi ini akan terus menghimpit nama-nama asli Indonesia dan daerah yang pada hakikatnya merupakan kekayaan budaya yang bernilai luhur yang mesti dijaga dan dipertahankan, dan diwariskan kepada generasi penerus," tulis Wijana.

Situasi seperti ini pada hakikatnya menurut Wijana adalah cerminan dari semakin rendahnya peranan sosial, ekonomi dan politik yang dimainkan oleh Negara Indonesia. "Cerminan dari rendahnya peranan sosial, ekonomi, dan politik yang dimainkan Indonesia dengan negara-negara yang mendominasinya seperti Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, China, dsb."

Bahasa adalah satu unsur kebudayaan terpenting sekaligus paling konsisten mencerminkan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Pemakaian bahasa dapat digunakan sebagai indikasi bagaimana dominasi budaya tertentu terhadap budaya yang lain di dalam suatu masyarakat.

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Inggris lebih prestise

Masih menurut Wijana, dalam tulisan ia menjelaskan bahasa memiliki hubungan erat dengan masyarakat penuturnya. Sehingga bahasa tidak pernah bersifat netral dari pengaruh struktur masyarakat dan kebudayaan para penuturnya itu.

"Sehubungan dengan tanda kebahasaan ini, Voloshinov (1973) mengatakan bahwa penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan dipengaruhi oleh kondisi kemasyarakatan dan interaksi anggota-anggota yang terlibat di dalamnya sehingga tak ubahnya bagaikan pertarungan antar kelas-kelas sosial masyarakat bersangkutan," tulis Wijana.

Hubungan antara berbagai bentuk bahasa dengan orientasi sosial ini disebut dengan istilah "Heteroglossia". Dalam pertarungan inilah kemudian tampak dominasi kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat lainnya.

Dan kelompok masyarakat dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang lebih rendah memandang positif budaya masyarakat yang status sosial, politik, dan ekonomi yang lebih kuat. "Sehingga dengan sangat mudah kebudayaannya didominasi oleh kebudayaan luar."

Argumen Wijana sejalan dengan penelitian Reza A Prayoga dan Husnul Khatimah tentang "Pola Pikir Penggunaan Bahasa Inggris pada Masyarakat Perkotaan." Penelitian mereka menunjukkan penggunaan bahasa Inggris telah menjadi perilaku sosial di masyarakat perkotaan. Penelitian dengan cakupan Jabodetabek ini mengungkapkan "hal tersebut menyebabkan bahasa Inggris lebih superior dibandingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional."

Prayoga dan Khatimah mengatakan realitas ini adalah indikasi awal perlemahan bahasa Indonesia di ranah publik. "Perlahan namun pasti bahasa Inggris menjadi simbol bahasa primadona di kalangan masyarakat perkotaan di Jabodetabek," tulisnya.

*Baca Informasi lain tentang BAHASA atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya