Peran Damri dalam Kemerdekaan RI
JAKARTA - Ujian terberat Indonesia pasca-kemerdekaan adalah membangun negara baru. Usia Indonesia yang seumur jagung butuh dikuatkan dalam segala aspek. Termasuk transportasi. Lalu lintas barang, manusia, dan senjata jadi yang paling dibutuhkan. Karenanya, Indonesia mendirikan Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (Damri).
Tugas Damri tak saja menyelenggarakan jasa angkutan darat, tapi juga ikut andil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan Agresi Militer Belanda I dan II. Bulan Agustus 1945 jadi fase yang paling menegangkan dalam sejarah bangsa. Kekalahan Jepang atas tentara sukutu adalah muaranya.
Dasus-desus kekalahan Jepang lalu menyebar di seantero negeri. Para tokoh bangsa bersuka cita karenanya. Mereka menganggap kekalahan Negeri Matahari Terbit sebagai momentum tepat untuk terbebas dari belenggu penjajahan. Ada pula yang beranggapan tiada waktu yang paling tepat dalam memproklamirkan kemerdekaan selain pada bulan Agustus.
Setelahnya golongan tua dan muda berjuang dengan caranya masing-masing. Kedua kelompok sama-sama berpacu dengan waktu. Perdebatan antara golongan tua dan muda kerap terjadi. Puncaknya, perbedaan pendapat memaksa golongan muda untuk menculik tokoh golongan tua: Soekarno dan Mohammad Hatta.
Mereka dibawa ke Rengasdenglok untuk berunding. Buahnya, golongan tua sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Peristiwa itu diliputi perasaan suka cita. Di lain sisi, kemerdekaan nyatanya membawa banyak masalah baru.
“Cita-cita perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan nyawanya belum tercapai seluruhnya. Kemerdekaan Indonesia memang telah berhasil direbut, dibela, serta dipertahankan dengan pengorbanan yang sungguh tak ternilai harganya.”
“Namun, nasib bangsa Indonesia belum begitu banyak berubah. Sungguh pun sudah merdeka dan berdaulat, namun nasib bangsa Indonesia masih belum banyak meningkat. Rakyat Indonesia masih banyak yang bodoh, miskin, dan terbelakang. Kedudukan ekonomi bangsa Indonesia masih sangat rendah, dan lemah,” ungkap Sagimun M.D dalam buku Jakarta Dari Tepian Air Ke Kota Proklamasi (1988).
Pemimpin Indonesia terpilih Bung Karno dan Hatta menyadari kekurangan itu. Narasi kemerdekaan kemudian disebarkan ke seantero pelosok negeri. Segenap rakyat Indonesia lalu terbakar euforia revolusi. Mereka bergerak saling mengisi peran dan kekosongan. Semua dilakukan supaya Indonesia tumbuh menjadi bangsa besar.
Tantangan kemerdekaan justru tak mampu membuat rakyat Indonesia lekas menyerah. Beberapa bulan setelah proklamasi, rakyat Indonesia mulai mengambil alih aspek-aspek penting bekas pemerintahan Jepang – dari trasportasi hingga komunikasi. Rakyat Indonesia juga tak lupa merebut persenjataan dan armada perang lainnya milik Jepang.
“Euforia Revolusi segera mulai melanda negeri ini, dan khususnya kaum muda Indonesia merespons kegairahan dan tantangan kemerdekaan. Para komandan pasukan Jepang di daerah daerah sering kali meninggalkan wilayah-wilayah perkotaan dan menarik mundur pasukan mereka ke pinggiran kota guna menghindari konfrontasi.”
“Banyak yang dengan bijaksana memperbolehkan pemuda-pemuda Indonesia memperoleh senjata. Antara tanggal 3 dan 11 September, para pemuda di Jakarta mengambil alih kekuasaan atas stasiun-stasiun kereta api, sistem trem listrik, dan stasiun pemancar radio tanpa mendapat perlawanan dari pihak Jepang. Pada akhir bulan September, instalasi-instalasi penting di Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Bandung juga sudah berada di tangan para pemuda Indonesia,” tulis Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (2007).
Bakti Damri untuk negeri
Upaya rakyat Indonesia mengambil alih segala aspek penting pemerintahan Jepang masuk ke tahap serius. Segenap rakyat, terutama buruh mulai mencoba mengambil alih instrumen transportasi --dari udara hingga darat.
Di sektor darat, kaum buruh yang tergabung dalam Barisan Oeroesan Mobil (BOM) dan angkutan lainnya mulai merebut jawatan penting transportasi darat milik Jepang seperti Jawa Unyu Zigyosha dan Zidosha Sokyoku.
Jawa Unyu Zigyosha sendiri adalah jawatan angkutan transportasi darat yang mengkhususkan diri pada angkutan barang dengan truk, gerobak, atau cikar. Sedang Zidosha Sokyoku adalah jawatan angkutan darat yang fokusnya menjadi angkutan penumpang dengan kedaraan bermotor atau bus.
Upaya merebut transportasi darat itu lalu berbuah manis. Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (Damri) akhirnya lahir dari rahim pergerakan kaum buruh pada 25 November 1946.
“BOM terdiri dari sopir-sopir mobil yang tergabung dalam divisi transportasi. Nama ini berasal dari satuan mereka, yaitu Barisan Oeroesan Mobil (BOM) dan mereka ini juga terlibat dalam penyitaan senjata. Anggota BOM telah sebelumnya menyita 400 kendaraan transportasi dari Jepang sebelum kedatangan Sekutu.”
“BOM di kemudian hari berubah menjadi DAMRI, Djawatan Angkatan Motor Republik Indonesia. Inventaris mereka (dalam bulan Oktober) menunjukkan kita punya 2.000 truk angkut, dan beratus ratus kendaraan lainnya (sepeda motor, sedan, jip),” terang Irna Soewito dikutip Frank Palmos dalam buku Surabaya 1945: Sakral Tanahku (2016).
Kehadiran Damri jadi secerah harapan buat Indonesia. Damri diakui sebagai salah satu instrumen Indonesia dapat maju dan berkembang. Sebab, Damri sendiri hadir dengan tugas utama menyelenggarakan angkutan darat dengan bus, truk, dan angkutan bermotor lainnya.
Tugas itu juga membuat Damri memiliki peranan besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Damri berperan aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada saat Agresi Militer Belanda I dan II. Selama Agresi Militer Belanda I pada bulan juli 1946, misalnya. Kaum buruh angkutan darat telah memanfaatkan seluruh armada Damri untuk memobilisasi pejuang kemerdekaan.
“Dalam Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948, buruh Damri berusaha dengan alat-alat yang ada padanya, menyelamatkan semua alat-alat DAMRI. Dalam menghadapi perjuangan yang berliku-liku, Damri selalu memegang teguh disiplin melaksanakan instruksi-instruksi Pemerintah.”
“Misalnya membantu pengangkutan padi India, pengangkutan TNI hijrah dari kantong-kantong, membantu pengangkutan pelaksanaan perundingan persetudjuan K.T.N. (Komisi Tiga Negara; Amerika, Australia dan Belgia) di Kaliurang. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung-jawab,” tutup Departemen Penerangan Indonesia dalam buku Propinsi Djawa Barat (1953).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.