Ketahui Apa Itu AMD, Faktor Risiko dan Pengobatannya

JAKARTA - Sama seperti penyakit lainnya yang membutuhkan pengobatan dini, begitu juga AMD atau degenerasi makula terkait usia (AMD) agar tak berujung perburukan kondisi. Pada kasus AMD khususnya tipe basah, pasien bisa mengalami kondisi penglihatan yang semakin memburuk apabila tak mendapatkan penanganan.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), dr. M. Sidik, Sp.M(K) mengatakan, gangguan penglihatan dan kebutaan akibat AMD terjadi secara perlahan dan progresif sehingga memerlukan pemantauan ketat serta kontrol dokter dan pengobatan berkala.

Dia mengakui situasi pandemi COVID-19 bisa menyulitkan pengobatan, tetapi pasien diharapkan tetap bersemangat dan tidak takut ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan sehingga tidak terjadi kondisi penglihatan yang memburuk dan menurunkan kualitas hidup.

AMD merupakan kerusakan makula yaitu pusat fokus penglihatan pada retina mata. Terjadinya perubahan anatomi makula yang menyebabkan gangguan fungsi penglihatan mulai dari distorsi bentuk atau penglihatan buram hingga buta pada penglihatan sentral.

Akibatnya, pasien tidak dapat membaca, menulis bahkan melihat wajah orang di hadapannya, ungkap dokter spesialis mata konsultan dari RSCM-FKUI, Dr.dr. Gitalisa Andayani, Sp.M(K).

“Ini menunjukan bahwa AMD merupakan penyakit mata yang perlu diwaspadai,” kata dia dalam keterangannya dilansir Antara, Minggu.

Prevalensi AMD tahap awal di seluruh dunia pada pasien berusia 45 dan 85 tahun yakni sekitar 8 persen dan AMD tahap lanjut sebesar 0,4 persen. Diperkirakan, hampir 288 juta orang diperkirakan memiliki AMD pada tahun 2040. Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan tahun 2018 termasuk satu dari lima negara dengan jumlah penduduk yang mengalami gangguan penglihatan terbanyak selain Cina, India, Pakistan dan Amerika Serikat.

AMD terbagi menjadi dua jenis yakni AMD kering (dry AMD) dan AMD basah (wet AMD). Pada AMD kering, terjadi kerusakan macula secara bertahap, biasanya selama bertahun-tahun karena sel retina mati dan tidak beregenerasi. Gitalisa mengatakan, sekitar 10-15 persen AMD kering akan berkembang menjadi AMD basah.

Sementara pada AMD basah, terjadi pertumbuhan pembuluh darah abnormal ke dalam macula sehingga terjadi perdarahan atau akumulasi cairan di makula. Akibatnya, akan timbul jaringan parut pada makula yang menyebabkan pasien kehilangan penglihatan sentralnya atau kebutaan. AMD basah diketahui sering berkembang sangat cepat dan menyebabkan kehilangan daya lihat yang sangat signifikan.

Faktor risiko dan pengobatan

Usia menjadi faktor risiko utama AMD. Biasanya kondisi ini terjadi pada mereka yang berusia di atas 60 tahun, tetapi bisa terjadi lebih awal. Di sisi lain, genetik dan kebiasaan merokok juga bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami AMD.

“Mereka yang memiliki faktor risiko ini tentu harus waspada, karena jika tidak ditangani dengan baik, AMD bisa mengakibatkan komplikasi hingga kebutaan, bahkan juga memengaruhi kesehatan mental seperti risiko depresi dan isolasi sosial yang lebih tinggi,” ujar Gitalisa.

Terkait pengobatan, pada AMD kering biasanya tidak mengakibatkan kehilangan penglihatan total, dan saat ini belum ada pengobatan yang efektif.

Hal ini berbeda dengan terapi pada AMD basah yang telah mengalami perkembangan pesat dalam dua dekade terakhir, salah satunya menggunakan Aflibercept untuk menghambat faktor pertumbuhan endotel antivaskular (vascular endothelial growth factor atau VEGF).

Terapi dengan Aflibercept dilakukan dengan cara memberi suntikan ke dalam bola mata (intravitreal), untuk memperlambat pertumbuhan pembuluh darah abnormal dan mencegah kerusakan makula lebih lanjut, sehingga mencegah kebutaan.

Studi ALTAIR di tahun 2020 menunjukan, terapi Aflibercept intravitreal pada penderita AMD tipe basah dapat memperpanjang jarak interval pengobatan dalam rejimen treat-and-entend (T&E) dengan penyesuaian 2 minggu atau 4 minggu.

Hasil terapi menunjukkan perbaikan penglihatan dan anatomi makula pada pasien yang sebelumnya belum pernah menggunakan pengobatan selama 52 minggu, sekaligus mengurangi beban pengobatan.

Studi ini menunjukan sebanyak 40 persen pasien bisa berobat 4 bulan sekali, dan 60 persen lainnya 3 bulan sekali. Sebelumnya, pasien harus datang untuk perawatan wetAMD setiap 2 bulan sekali.

Gitalisa berharap, dengan interval terapi lebih lama, terlebih dalam masa pandemi COVID-19 saat ini, jumlah kunjungan dan beban ekonomi pasien dapat berkurang.

Terapi Aflibercept intravitreal dikatakan efektif pada satu sub-tipe AMD tipe basah yaitu Polypoidal Choroidal Vasculopathy (PCV), yang paling sering terjadi pada ras Asia sehingga disebut “Asian AMD”. Sekitar 25 – 50 persen pasien Asia dengan AMD juga memiliki PCV.

Pada masa pandemi saat ini, pasien khususnya AMD tipe basah diharapkan tak lagi khawatir menjalani pengobatan di rumah sakit.

Lebih lanjut, khusus mereka yang tak mengalami AMD atau kondisi gangguan penglihatan lainnya, sesuai imbauan pada Hari Penglihatan Sedunia 2021, Gitalisa mengingatkan agar tak lupa melakukan pemeriksaan mata minimal sekali dalam setahun, terutama ketika mulai menginjak usia 40 tahun, serta mendeteksi berbagai gangguan mata degeneratif termasuk AMD.

Dalam rangka mendukung deteksi dan pengobatan berbagai penyakit mata, PERDAMI berpartisipasi menyelenggarakan forum update pengetahuan dan pelatihan secara berkelanjutan ppada dokter spesialis mata.

Mereka juga menggandeng perusahaan di bidang life science terkait kesehatan dan pertanian untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien dan keluarganya dalam menangani AMD.

Head of Medical Pharmaceuticals PT Bayer Indonesia, Dr. Dewi Muliatin Santoso meyakini kolaborasi dan kerja sama dengan PERDAMI merupakan langkah penting dalam menangani penyakit AMD yang menurut dia mempengaruhi kehidupan kualitas hidup hingga beban ekonomi masyarakat.