Penundaan Pemilu Bolivia: Darurat COVID-19 atau Strategi Politik?

JAKARTA - Semakin mewabahnya COVID-19, membuat pemilihan umum (Pemilu) di Bolivia kembali tertunda. Pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada 6 September diundur ke 18 Oktober.

Kepala Pengadilan Tinggi Bolivia Salvador Romero menjelaskan penundaan dilakukan untuk memastikan keamanan pemilih. COVID-19 telah begitu banyak memakan korban, membuat petugas-petugas di rumah sakit dan tempat-tempat pemakaman kewalahan.

"Pemilihan ini membutuhkan langkah-langkah keamanan kesehatan setinggi mungkin untuk melindungi kesehatan rakyat Bolivia," kata Romero, dikutip Reuters, Jumat, 24 Juli.

Mantan Presiden Bolivia, Evo Morales menunjukkan pandangan berbeda. Lewat kicauan Twitter, ia memandang penundaan pemilu hanya akan membahayakan rakyat.

Morales melihat ini secara politis. Menurutnya, penundaan pemilu tak lebih dari langkah dan taktik lawan-lawannya untuk mendapatkan lebih banyak waktu mengumpulkan dukungan suara.

Morales menyalahkan pemerintah sementara terkait penundaan pemilu dan bagaimana pemerintah menerapkan langkah-langkah menekan laju penyebaran COVID-19. Sebuah federasi kelompok tani koka –-tanaman lokal Bolivia— menyampaikan pandangan yang sama dengan Morales.

Federasi menambahkan, jika keputusan penundaan itu tak dicabut dalam waktu 72 jam, mereka akan melakukan unjuk rasa turun ke jalan. Mereka juga menyatakan akan memblokade jalanan yang menjadi rute penting perdagangan.

Bagi 11,5 juta warga Bolivia, pemilu merupakan kunci bagi masa depan perpolitikan negara. Pemilihan umum tahun lalu di Bolivia menyebabkan protes besar-besaran yang membuat orang nomor satu Bolivia kala itu, Evo Morales angkat kaki dari posisi pemimpin negara.

Dalam kekosongan jabatan, anggota parlemen sayap kanan, Jeanine Anez menjadi Presiden Bolivia untuk sementara waktu. Anez yang awalnya tak berminat ikut dalam pemilihan, secara mengejutkan ikut dalam pemilu.