Perjalanan Vaksin Corona Masih Panjang Sekalipun Banyak Ujicoba Berhasil

JAKARTA - Data awal ujicoba tiga vaksin COVID-19 potensial yang dirilis pada Senin, 20 Juli, termasuk yang diawasi ketat Universitas Oxford menunjukkan hasil menjanjikan. Hasil yang positif meningkatkan kepercayaan diri bahwa vaksin dapat melatih sistem kekebalan untuk mengenali dan melawan virus corona baru tanpa efek samping serius.

Meski demikian, apakah vaksin ini dapat melindungi miliaran orang dan mengakhiri pandemi global yang telah merenggut lebih dari 600 ribu jiwa, masih jauh dari jelas. Masih membutuhkan studi yang jauh lebih besar untuk membuktikan bahwa vaksin-vaksin tersebut dapat dengan aman mencegah penyakit serius.

Melansir Reuters, Selasa, 21 Juli, vaksin yang dikembangkan produsen obat Inggris, AstraZeneca bersama dengan Universitas Oxford menginduksi respons kekebalan pada semua peserta studi yang menerima dua dosis tanpa efek samping yang mengkhawatirkan. Vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan oleh CanSinoBiologics Inc dan unit penelitian militer China, juga menunjukkan bahwa vaksin aman dan memicu respons kekebalan pada sebagian besar dari 508 sukarelawan.

Relawan yang berhasil merespons kekebalan mendapat satu dosis vaksin, para peneliti melaporkan. Sekitar 77 persen sukarelawan studi mengalami efek samping, seperti demam atau nyeri di tempat suntikan. Namun, tak ada efek samping yang dianggap serius.

Baik vaksin AstraZeneca dan CanSino menggunakan virus flu yang tidak berbahaya, yang dikenal sebagai adenovirus untuk membawa materi genetik dari virus corona baru ke dalam tubuh. Studi tentang kedua vaksin diterbitkan dalam jurnal The Lancet.

"Secara keseluruhan, hasil dari kedua uji coba secara umum serupa dan menjanjikan," tulis Naor Bar-Zeev dan William Moss, dua ahli vaksin dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins. 

Namun, kandidat CanSino kembali menunjukkan tanda-tanda bahwa orang yang sebelumnya terpapar adenovirus tertentu memiliki respons kekebalan yang berkurang. Para penulis penelitian menyebut bahwa “hambatan terbesar” bagi vaksin perlu diatasi.

Bioteknologi Jerman, BioNTech dan perusahaan farmasi Amerika Serikat (AS), Pfizer Inc merilis rincian dari sebuah penelitian di Jerman mengenai berbagai jenis vaksin yang menggunakan asam ribonukleat (RNA). RNA adalah pembawa kimia yang berisi instruksi untuk membuat protein.

Vaksin memerintahkan sel untuk membuat protein yang meniru permukaan luar virus corona. Tubuh mengenali protein seperti virus ini sebagai penjajah asing dan kemudian dapat merespons imun terhadap virus yang sebenarnya.

Dalam studi yang sebelumnya dilakukan terhadap 60 orang dewasa sehat, vaksin menginduksi antibodi penawar virus pada mereka yang diberi dua dosis. Hasilnya sejalan dengan ujicoba di AS tahap awal. Laporan tersebut menyusul publikasi pekan lalu dari hasil ujicoba vaksin Moderna Inc (MRNA.O) yang menunjukkan hasil awal yang sama menjanjikan. Vaksin Moderna juga menggunakan RNA.

Menjanjikan, namun masih panjang

Dari semua vaksin yang sedang diuji, tak ada satupun menunjukkan efek samping yang buruk. Tetapi semua masih harus dibuktikan bahwa vaksin ini aman dengan ujicoba yang melibatkan ribuan subjek, termasuk mereka yang berisiko tinggi terkena COVID-19 parah.

Secara historis, hanya 6 persen dari kandidat vaksin yang akhirnya berhasil memasarkannya. Itu pun seringkali setelah proses pengujian selama bertahun-tahun. Pembuat vaksin berharap mempersingkat waktu ujicoba dan memproduksi dalam skala besar bahkan sebelum produk terbukti berhasil.

Beberapa pabrikan memiliki dukungan pemerintah AS dengan tujuan memiliki vaksin COVID-19 pada akhir tahun karena kasus-kasus terus meningkat dengan kecepatan yang tinggi. Vaksin kerja sama AstraZeneca dan Universitas Oxford adalah salah satu dari 150 vaksin yang sedang dikembangkan secara global dan dianggap sebagai vaksin paling canggih.

Uji coba tahap akhir telah dimulai di Brasil dan Afrika Selatan dan akan dimulai di AS, di mana prevalensi infeksi tertinggi.