Selamat Jalan Sapardi, "Kisahmu di Bulan Juni" akan Selalu Abadi

JAKARTA - Sastrawan Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Minggu, 19 Juli. Seperti banyak diwartakan jagat media massa, Sapardi menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan, Banten.

Segenap penikmat karyanya di seluruh pelosok nusantara pun berduka atas kepergiannya sosok besar bagi perkembangan sastra di Indonesia. Atas kematian, kami pun mencobanya mengutip kata-kata yang diucapkan oleh Sastrawan, Goenawan Mohamad saat Sapardi merayakan ulang tahun ke-77 pada 2017.

Goenawan mengatakan Sapardi tidak berulang tahun. “Sapardi (sedang) merayakan kelahirannya kembali.”

Oleh sebab itu, boleh jadi Sapardi telah meninggal dunia. Namun, perginya Sapardi membuat karya-karya seakan terlahir kembali. Sebut saja sajaknya yang berjudul Hujan Bulan Juni (1994). Sejak hari kematiannya sajak tersebut acap kali memenuhi ragam lini masa di media sosial:

"Tak ada yang lebih bijak. Dari hujan di bulan Juli. Dihapusnya jejak-jejak kaki, yang ragu-ragu dijalan itu."

Sajak Sapardi

Penggalan sajak Hujan Bulan Juni membuktikan bahwa sajak yang liris –penuh perasaan-- nan sederhana buah karya dari sang maestro, benar-benar terlahir kembali. Mereka yang sudah berkali-kali jatuh cinta dengan sajak tersebut, kemudian terpikat kembali dengan sajak-sajak Sapardi. Pantas saja, penyair Joko Pinurbo pernah berucap bahwa Sapardi tak ubahnya “salah satu rasul rasul utama dunia puisi Indonesia.”

“Tema keseharian yang dipilih Sapardi menjadi kekuatannya. Karyanya tentang hujan, bunga jatuh, air selokan, bayangan, batu, pohon belimbing menunjukkan betapa dia akrab dengan suasana sehari-hari yang kerap dilupakan orang lain. ‘Saya menganggap orang dan benda itu sama,’ kata Sapardi. ‘Seperti anak kecil, benda saya anggap teman,” tulis Ninin Damayanti dalam tulisanya di Majalah Tempo berjudul Penyair Hujan dari Baturono (2010).

Ninin menambahkan Sapardi memang tak seperti penyair Chairil Anwar yang tiba-tiba bisa sangat mengejutkan karena menggunakan struktur kalimat yang tak lazim ata kata yang nyeleneh. Sapardi adalah Sapardi dengan puisinya yang bersahaja.

Hal itu pun diamini oleh Budayawan, Feby Triadi. Sapardi yang berhasil melanggengkan tradisi lirisisme yang berciri khas pada kemampuan menghadirkan suasana dalam bersajak, dianggapnya sesosok maestro yang mampu menangkap makna apa adanya.

Sapardi besama Goenawan Mohamad (Twitter Resmi Sapardi @sapardiDD)

Feby pun mengajak orang-orang mengenang Sapardi dengan menikmati kembali karyanya Hujan Bulan Juni. Pada karya tersebut kata Feby, Sapardi betul-betul menangkap proses hujan, dan terkesan tidak memaknai hujan itu seperti apa. Maka, tiap orang yang menikmati karyanya akan mengetahui pesona belantara pikirannya yang begitu luas, kadang kala diselingi oleh beberapa gurauan.

“Tak heran, sumbangsih Sapardi begitu besar bagi dunia sastra Indonesia. Bahkan, dirinya pernah menuliskan namanya pada kanca sastra dunia. atas kelebihannya itulah, Sapardi menunjukkan jika sastra dapat menjadi ‘way of life’ seseorang. Hingga akhir hayatnya, Sapardi konsisten di jalan itu,” ucap Feby Triadi saat dihubungi oleh VOI, 20 Juli.

Mengenal Sisi Lain Sapardi

Kebanyakkan khalayak mengenal sosok Sapardi Djoko Damono yang lahir di Solo pada 20 Maret 1940, hanya fokus dalam dunia persajakan belaka. Padahal, dibalik puluhan buku sastra, yang sebagiannya kumpulan puisi, mulai dari Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2002) dan lain-lain, Sapardi memiliki banyak hobi lain.

Beberapa di antaranya adalah keluyuran dan bermain musik, khususnya memainkan gitar. Gambaran itu pun turut direkam oleh Bakdi Soemanto dalam buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2006). Menurutnya, Sapardi merupakan seorang yang suka keluyuran seperti ayahnya, Sadjoko. Dengan demikian, Kampung Ngadijayan dan sekitarnya, yang mana menjadi tempat Sapardi menghabiskan masa kecil, tak habis-habisnya dijelajahi oleh Sapardi.

Dalam aktivitas keluyuran itulah Sapardi menjadikan tempat persewaan buku sebagai tempat yang paling sering disinggahi untuk sejenak membaca. Kelak, aktivitas keluyurannya tersusun dalam dua lapis makna. Lapis yang pertama keluyuran dalam artian fisik, dengan berjalan kaki berpindah-pindah tempat dari satu area ke area lain.

“Keluyuran lapis kedua adalah penjelajahan pikiran melalui bacaan. Keluyuran dengan pikiran ini tampaknya juga disertai dengan ‘omong-omong’ dengan bahan bacaannya. Sebab, memang demikian adanya: membaca adalah kegiatan berdialog. Dalam membaca (Sapardi) tak hanya menyerap secara pasif apa yang dilihat oleh mata. Tetapi, juga dengan pertimbangan-pertimbangan,” imbuh Bakdi.

Menariknya, semenjak Sapardi Mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Bahasa Inggris, naluri kreatifnya semakin terasah. Tampak Sapardii kerap kali mengisi acara semacam puisi dan pembahasannya. Kendati demikian, Sapardi sempat dikenal sebagai gitaris yang handal.

Kemampuannya bermain gitar cukup baik. Bersamaan dengan itu, Sapardi sering bermain dengan band-nya di acara kampus. Karena hobinya itu, Sapardi nampak tak dapat lepas dengan gitar kesayangannya. Saking hobinya bermain gitar, salah seorang temannya yang juga sastrawan, Umar Kayam menuturkan bahwa Sapardi kerap membawa gitar ke kantor saat masih menjadi Dekan Fakultan Sastra, Universitas Indonesia.

Sapardi bersama Joko Pinurbo (twitter resmi Sapardi @sapardiDD)

“Dari berbagai kemampuan berkesenian yang dimiliki oleh Sapardi (menari, menabuh gamelan, main gitar, memimpin band, menggambar, main drama, dan menjadi sastrawan), tampaknya hanya bidang sastra yang menonjol. la bukan hanya dikenal sebagai penyair papan atas di wilayah Indonesia, bahkan hingga di luar negeri,” tambah Bakdi.

Maka dari itu, Sapardi merupakan sepaket komplit akan wujud dari sastrawan yang sejatinya tercatat dalam kamus besar sejarah penyair kenamaan Nusantara. Pada akhirnya, meninggalnya Sapardi menunjuk bahwa karyanya masih tetap abadi dan menggaung hingga hari ini. Sebagai penutup sajak dari Subagio Sastrowardoyo berjudul Di Ujung Ranjang, niscaya dapat mengiringi kepergian seseorang bernama lengkap Sapardi Djoko Damono. Sebab, ia menyebut kematian dengan istilah tidur yang lebih lelap:

"Waktu tidur tak ada yang menjamin kau bisa bangun lagi. Tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap. Diujung ranjang menjaga bidadari menyanyi nina-bobo."

Sajak Subagio Sastrowardoyo