Tiada Guna Membela Industri Rokok: Menyoroti Longgarnya Regulasi Rokok di Indonesia
JAKARTA - Belakangan ini perdebatan mengenai rokok mencuat di media sosial Twitter. Dari sekian banyak argumen perdebatan dari kubu pro maupun kontra mengenai produk berbahan dasar tembakau ini ada satu yang terpenting: tak perlu membela industri rokok. Apalagi regulasi negara kita soal pembatasan rokok memang longgar.
Salah satu alasan mengapa para perokok tak perlu membela industri rokok adalah, rokok itu dapat memiskinkan konsumennya. Data Badan Pusat Statistik yang dikutip Katadata mencatat, jumlah penduduk miskin mencapai 27,54 juta orang per Maret 2021. Dan rokok menjadi komoditas penyumbang terbesar kedua dalam perhitungan garis kemiskinan.
Pada Maret 2021, garis kemisikinan naik hingga 2,96 persen dari Rp458.947 per kapita/bulan pada September 2020 menjadi Rp472.525 per kapita/bulan. Garis kemiskinan adalah pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan nonmakanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.
Kontribusi rokok untuk garis kemiskinan mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan. Padahal, pemerintah Indonesia telah menaikkan cukai rokok mencapai 12,5 persen. Penaikan cukai tersebut, rata-rata harga jual eceran rokok naik 13,8 persen hingga 18,4 persen.
Kendati demikian, masyarakat seolah "tak peduli" meski merokok dapat menjebol mereka punya kantong. Buktinya, selama masa pandemi COVID-19, penjualan rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) mengalami kenaikan karena harganya lebih murah. Kondisi tersebut, ditambah dengan kebijakan Pemerintah yang tidak menaikan tarif cukai SKT, disambut hangat oleh para pengusaha untuk membuat pabrik rokok segmen SKT.
Hal ini divalidasi data Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Pada awal 2021, Kantor Bea dan Cukai Kudus mencatat penambahan jumlah pabrik rokok segmen SKT di Kabupaten Pati, Jawa Tengah dari sebelumnya hanya 80 pabrik menjadi 111 pabrik atau terjadi penambahan sebanyak 31 pabrik.
Sialnya perkembangan industri rokok juga paralel dengan problematika yang diciptakannya. Salah satunya soal masalah perokok anak.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada 1995 yang berintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1995 menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat mulai merokok pada umur muda, yaitu di antara umur 15-20 tahun. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 pun mencatat penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang tertinggi mengkonsumsi tembakau adalah mereka dari kelompok miskin sebanyak 33,52 persen.
Hal tersebut tidak mengherankan karena menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), harga rokok di Indonesia terbilang murah dan terjangkau. WHO juga berpendapat bahwa Indonesia memiliki harga rokok terendah di antara negara-negara Asia Pasifik. Harga rokok di Indonesia masih di bawah 2 dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp29 ribu (kurs Rp14.500 per dolar AS) per bungkus. Data Numbeo juga menunjukkan, Indonesia masuk dalam 10 negara dengan harga rokok termurah di dunia.
Dari paparan tersebut kita bisa melihat bahwa problematika yang diakibatkan dari industri rokok tak bisa dianggap sepele. Ini tak bisa dibiarkan. Apalagi kalau dari sisi regulasi tak ada pengetatan terkait pembatasan rokok yang berarti.
Memperketat regulasi
Banyaknya perokok dari berbagai kalangan termasuk anak-anak bukan karena tidak ada aturan. Namun aturan tersebut masih kurang ditegakkan dan terkesan "ada untuk dilanggar." Pemerintah terkesan tarik ulur dengan peraturan tersebut, tidak dipungkiri salah satu sumber pendapatan negara adalah bea cukai rokok.
Dalam PP nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dalam Pasal 46, jelas mengatakan setiap orang dilarang menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi produk tembakau. Bisa dilihat bahwa menyuruh saja tidak boleh. Namun masih banyak dijumpai anak-anak yang bisa membeli rokok.
Lalu pada Pasal 49 dan 50, disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok. Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 antara adalah fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, serta tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Bukti terlihat lain yang menggambarkan bahwa regulasi pembatasan rokok longgar yakni, kita masih dengan mudah melihat orang yang merokok sembarangan. Entah pemerintah daerah yang kurang menyediakan kawasan merokok atau masyarakat yang masih kurang paham akan peraturan tersebut.
Yang pasti, semua aturan yang terkait rokok telah dibuat namun nyatanya, penegakannya masih kurang. Kelemahan pemerintah Indonesia dalam aturan rokok juga dikritisi oleh pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah.
Masih setengah hati
Menurut Trubus, regulasi-regulasi tentang rokok yang ada di Indonesia disusun setengah hati atau setengah matang. Apalagi pemerintah juga mengambil bea cukai rokok yang tinggi. Terdapat larangan rokok dan bea cukai tinggi, dan petani tembakau tidak dibina. Kebijakan seperti itu membuat gamang masyarakat dalam menghadapi urusan rokok.
"Jadi petani tembakau tidak pernah diperhatikan. Mereka (pemerintah) hanya menaikkan cukai. Ketika rokok mau dilarang, lalu petaninya gimana? Negara harus memerhatikan nasib mereka. Pemerintah itu tidak tegas, ambigu. Tidak mau menutup (industri) rokok, tidak berani. (Masalah lain) Negara kita juga kehabisan keuangan, banyak utang. Industri apa yang bisa menyelamatkan? Ya rokok," ujar Trubus kepada VOI
Kerumitan lain soal penyusunan regulasi terkait rokok yakni apabila industrinya tertutup. Ini bisa menimbulkan dampak yang luar biasa bagi banyak pihak. Lantas kalau mungkin kita mempertanyakan hal ekstrim seperti menutup atau membatasi produksi rokok apakah memungkinkan? Jawabannya sudah pasti: sulit dilakukan --kalau tak bisa dibilang mustahil.
"Negara harus memiliki solusi bagaimana nasib orang-orang yang bekerja di industri rokok dan pengganti pemasukan dari cukai rokok. Menurut saya kalau sekarang dilakukan itu, ya mimpi. Orang halu yang mengatakan rokok bisa ditutup. Ketika itu (industri rokok) ditutup, pengganti (pemasukan negara dari cukai) dari mana? Kalau cuma ngelarang semua orang ya bisa," ujar Trubus.
Memang industri rokok di Indonesia bak buah simalakama. Satu sisi, bisa menyebabkan permasalahan pelik seperti masalah kesehatan bagi orang yang terpapar asap rokok, kemiskinan, dan anak-anak di bawah umur yang merokok. Namun di sisi lain, jika industri rokok ditutup, akan berdampak bagi banyak pihak, bahkan terhadap petani dan sumber pendapatan negara.
*Baca Informasi lain tentang ROKOK rokok atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
Baca juga: