Gedung Boplo, Bangunan Milik Belanda yang Kini Menjelma Jadi Masjid Cut Meutia

JAKARTA - Turki secara mendadak merubah status bangunan Hagia Sophia di Istanbul dari museum menjadi masjid. Meski menjadi polemik itu sudah menjadi keputusan dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Sepintas, ada kesamaan antara Hagia Sophia di Istanbul, Turki dengan Gedung Boplo di Jakarta, Indonesia. Selain sama-sama berubah fungsi menjadi masjid, nyatanya kedua bangunan tersebut telah tercatat mengalami perubahan status berkali-kali sepanjang sejarah.

Boleh jadi Hagia Sophia dalam peta dunia lebih dulu dibangun dan kesohor, sedangkan Gedung Boplo hanya diketahui segelitir kecil orang Indonesia dan masih terhitung berusia muda. Kendati demikian, setidaknya kedua bangunan itu telah menjadi bukti bahwa suatu bangunan bersejarah dapat diadaptasi untuk fungsi yang berbeda-beda.

Hagia Sophia misalnya. Bersadarkan sejarah, Hagia Sophia memang telah tercatat sebagai tempat ibadah penting bagi umat Kristen Ortodoks selama berabad-abad, sampai Istanbul –yang kemudian dikenal sebagai Konstantinopel—jatuh ke tangan Turki Ottoman pada tahun 1453. Sejak itu, Hagia Sophia dibangun menjadi masjid.

Lantas, setelah berdirinya Republik Turki d bawah Mustafa Kemal Ataturk, status Hagia Sophia diubah menjadi museum pada tahun 1934. Status itu bertahan hingga hari di mana Erdogan mengumumkan keputusan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid dan baru paripurna berubah pada Jum’at, 10 Juli.

Begitu pula Gedung Boplo –akronim untuk Bouwploeg—yang dibangun pada 1912. Dahulu, gedung ini dari tahun 1912-1925 digunakan sebagai gedung perkantoran oleh N.V. Bouwploeg. Sesudahnya gedung digunakan oleh Proviciale Waterstaat (komite pekerjaan umum) dan sebagai kantor pos pembantu.

Barulah setalah Jepang mulai menjajah Indonesia (1942-1945), Jepang menjadikan kantor itu sebagai markas angkatan laut sewaktu perang dunia ke-II. Setelahnya, gedung ini dimanfaatkan oleh Staatssporweg (jawatan kereta api), berbagai dinas perumahan (1957-1964). Pernah pula menjadi kantor sekretariat dari DPRD-GR dan MPRS (1964-1970) dan kantor urusan agama.

Kelak, saat Gedung Boplo mulai difungsikan sebagai masjid pada 1985. Gedung Boplo kemudian bersalin nama menjadi Masjid Cut Meutia. Alhasil, Masjid Cut Meutia kesohor sebagai identitas dari Menteng sebagai Kota Taman.

Uniknya hingga hari ini, citra kawasan elite yang diemban oleh Menteng tetap terjaga seiring terawatnya Masjid Cut Meutia. Saking spesialnya Menteng, Kawasan ini menjadi hunian populer dari diplomat, menteri, hingga presiden.

Asal-usul Gedung Boewploeg

Berbicara Gedung Boplo tentu agak kurang lengkap jikalau tak menyertakan seorang arsitek kesohor  yang juga pembuat master plan kawasan Menteng, Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Di tangan Moojen, banyak bangunan-bangunan dengan nilai artistic tinggi lahir. Salah satu bangunan yang digarapnya dan menjadi bangunan pertama di Menteng ialah Gedung Boplo pada 1912.

Sebagaimana yang diungkap Sorta Tobing dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Seabad Nieuw-Gondangdia (2012), Gedung Bouwploeg yang artinya kontraktor dalam bahasa Belanda, difungsikan sama seperti kantor pemasaran pada zaman sekarang. “Moojen merancangnya dengan gaya art Nouveau, yang populer di Eropa ketika itu.”

“Sebuah massa besar berada di tengah. Bidang kotak yang lebih kecil menempel di kanan dan kiri massa itu. Dari atas, bentuknya seperti salib yang simetris. Pintu masuk seolah-olah ada tiga, padahal satu. Dua lainnya hanya berfungsi sebagai bukaan. Di bagian atas, ia memakai kubah. Tidak bulat, tapi agak kotak seperti kubah Masjid Raya Medan. Seluruh dinding terpasang jendela besar. Ruangan di tengah bangunan sangat besar dengan langit-langit tinggi,” ucap Sorta sembari mendeskripsikan bangunan.

Gedung Boplo dulu (dok Wikimedia commons)

Menariknya, rancangan Moojen tampak berbeda dengan gaya rancangan bangunan lainnya di Batavia (Jakarta). Tak heran, melalui mahakaryanya, Moojen bak seorang seniman yang berani bereksplorasi dengan gaya klasik dipadu bangunan lebar dengan pilar besar. Oleh sebab itu, Mahaguru arsitektur Belanda, H.P. Berlage yang sempat berkunjung ke Indonesia pada 1923, sempat memuji karya Moojen.

Sebab, dari luarannya saja, Gedung Boplo sempat dianggap bukan gedung kantor karena lebih menyerupai gedung untuk keperluan kebudayaan, berkat desainnya yang agak berani. Barulah saat masuk ke dalam, bekas ruang-ruang kerja berlangit tinggi yang membawa cahaya masuk ke dalam lewat jendela besar menjadi keunikan lainnya.

“Hal ini penting untuk para arsitek yang berkerja di dalamnya. Ruang tengah yang tinggi menjamin sirkulasi udara yang baik: dari jendela lewat ruang kantor udara panas bisa naik dan keluar melalui jendela-jendela di bawah kubah atap,” ungkap Adolf Heuken SJ dan Grace Pamungkas dalam buku Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia (2001).

Oleh Adolf yang dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta dan juga warga Menteng sejak akhir tahun 1960-an, menyatakan bagian atas jendela-jendela yang melengkung pada Gedung Boplo tampak diisi oleh kaca patri yang indah. “Busur atau lengkungan ditunjang oleh pilaster. kaca patri terlihat pula pada pintu masuk utama yang diubah sejak gedung ini digunakan sebagai masjid pada 1985.”

Pesona Gedung Boplo bahkan tak cuma perihal bangunannya saja. dikutip dari Alwi Shahab dalam buku Maria Van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), menegaskan melekatnya Gedung Boplo dalam ingatan orang Eropa (Belanda) zaman sebelum merdeka, juga disebabkan oleh hadirnya sebuah monumen yang mengenang keberhasilan Jenderal Joannes Benedictus van Heutz dalam menaklukkan Aceh.

Bagian dalam Masjid Cut Meutia sekarang (dok. Wikimedia commons)

Di monumen yang memanjang hingga ke dekat jalan Menteng Raya dan Cikini Raya. Tampak, monumen tersebut diberi penumpu sebagai tempat berdirinya patung Van Heutz yang seakan tak henti-hentinya memancarkan kebajikan. Uniknya, monumen itu oleh Kompeni diyakini sebagai wujud nyata upaya mereka mempersatukan Nusantara.

“Akan tetapi, kaum nasionalis menilai patung ini sebagai penghinaan terhadap kehormatan rakyat dan membuat hati mereka berontak. Setelah Indonesia merdeka, tanpa mengenal ampun patung ini dihancurkan sama rata dengan tanah,” tutup Alwi Shahab.