Gelotophobia, Ketika Seseorang Takut Mendengar Orang Lain Tertawa

JAKARTA - Ketawa disebut-sebut sebagai obat mujarab untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memperlicin kesuksesan di tempat kerja, bahkan membantu orang hidup lebih lama. Namun, bagi sebagian orang, tertawa kecil justru bisa menjadi masalah bagi para pengidap gelotophobia. Kenapa bisa begitu?

Jadi, mereka yang menderita gelotophobia itu merasa takut bila ditertawakan orang lain, bahkan takut akan lelucon yang bermaksud baik. 

"Mereka tidak percaya terhadap tertawa yang ramah, bahkan ketika seseorang hanya sedang menunjukan rasa senangnya. Semua tertawaan dianggap buruk," kata psikolog Willibald Ruch dikutip scientificamerican.com. Ruch adalah psikolog dari Universtity of Zurich yang memelopori penelitian tentang kondisi tak biasa yang terjadi pada pertengahan tahun 2000an itu.   

Ruch bercerita tentang salah satu orang yang mengidap gelotophobia. Ketika menunggu bus, orang ini harus memilih bus yang kursi belakangnya kosong. Jika tidak, "Dia tidak akan tahan dengan kondisi duduk di depan orang yang tertawa di belakangnya," kata Ruch.  

Seperti phobia lainnya. Gelotophobia juga ada tingkatnya mulai dari yang ringan sampai yang berat. Untuk menilai tingkat keparahannya, para peneliti bisa mengukurnya dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu bisa dibuat seperti: "Butuh waktu berapa lama bagi saya untuk pulih ketika ditertawakan?" atau "Ketika orang lain menertawakan saya, seberapa besar saya merasa curiga?" 

Apa penyebabnya?

Menurut studi, sekitar 13 persen penduduk dunia menderita gelotophobia. Masih kata Ruch, negara-negara dengan tingkat gelotophobia terendah  berasal dari negara yang budayanya lebih egaliter atau setara seperti Denmark dan Belanda. Sementara di negara-negara yang menjunjung budaya hormat dan rasa malu digunakan sebagai kontrol sosial, seperti di beberapa negara Asia, tingkatnya sangat tinggi. 

Selain faktor budaya, gaya mendidik anak juga dapat berpengaruh terhadap gelotophobia. Dalam sebuah penelitian terhadap 100 keluarga, ibu dan ayah yang punya banyak aturan atau hukuman dalam mendidik anak, cenderung membuat anak itu menjadi takut terhadap tertawa. Perundungan dan kecemasan sosial juga dapat menjadi salah satu faktor munculnya gelotophobia.

Sebuah studi electroencephalographic 2016 mengungkap, ketika pengidap mendengarkan suara tertawa atau berteriak marah, mereka menunjukkan lebih banyak aktivitas di sepanjang saraf kortikal prefrontal dan posterior. Penulis studi ini - psikolog Ilona Papousek dari Austria - percaya, itu artinya mereka "lebih sensitif terhadap kesan jahat dari tertawa."

Sementara itu kabar baiknya, menurut psikolog Willibald Ruch, pengidap gelotophobia bisa menjalani terapi yang sama dengan terapi untuk phobia lain. Kabar buruknya adalah mungkin sulit untuk meyakinkan pengidap gelotophobia untuk mengunjungi terapis, karena sudah membayangkan akan mungkin disambut dengan senyuman dan tertawa kecil untuk menyambut mereka.