Solusi DPR untuk Masalah Cekaknya Jiwasraya
JAKARTA - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merekomendasikan pembentukan panitia kerja (panja) atau panitia khusus (pansus) untuk menyelesaikan permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Saat ini Jiwasraya memang tengah mengalami masalah, salah satunya terkait tidak mampu membayar klaim jatuh tempo pada akhir 2019 yang senilai Rp12,4 triliun karena saat ini Jiwasraya masih mengalami tekanan likuiditas dan belum terjadi perbaikan kondisi.
Hal tersebut menjadi kesimpulan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR dengan Dirut Jiwasraya Hexana Tri Sasongko, di Gedung Nusantara I DPR, Jakarta, Senin 16 Desember.
“Komisi VI merekomendasikan untuk membentuk panja atau pansus untuk menyelesaikan permasalahan Jiwasraya,” kata Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima.
Sebelumnya, usulan pembentukan pansus atau panja dilontarkan beberapa anggota Komisi VI DPR seperti Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDI Perjuangan dan Herman Khaeron dari Fraksi Partai Demokrat.
“Kita harus membentuk panja karena tidak mungkin tidak membentuk panja dan itu bisa tertutup, namun pendalaman bisa lebih detail,” kata Rieke.
Rieke mengatakan pembentukan pansus tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan Asuransi Jiwasraya namun juga secara otomatis menyelamatkan para nasabah yang menjadi korban.
“Jika nasabah tidak diselamatkan, maka itu bukan menyelamatkan Jiwasraya namanya. Bagaimana menyelamatkan hak nasabah dan hak negara?,” katanya.
Sedangkan, Herman Khaeron menuturkan pembentukan panitia tersebut sangat penting sebab kasus ini harus diselesaikan bersama. “Saya setuju dibentuk panja, jika memang ada keputusan politik, ayo kita putuskan bersama karena ini sudah salah sejak awal,” ujarnya.
Hexana Tri Sasongko menyebutkan dana yang dibutuhkan untuk menyelamatkan perusahaan BUMN itu sebesar Rp32,89 triliun. Ia pun meminta maaf kepada para nasabah karena tidak bisa memberi tanggal kepastian kapan pembayaran klaim bisa dilakukan.
Selain itu, Komisi VI DPR turut menyarankan penyelesaian masalah Jiwasraya melalui jalur hukum tetap dijalankan dimulai dengan melakukan pencekalan terhadap Direksi PT Asuransi Jiwasraya periode 2013-2018 hingga ada kejelasan kasusnya. Kemudian, meminta kepada Asuransi Jiwasraya untuk membuat rencana strategis terkait penyelesaian masalah ini.
Isu cekaknya likuiditas Jiwasyara mulai tercium dari laporan nasabah pada Oktober 2018, di mana perusahaan asuransi pelat merah itu terpaksa menunda pembayaran kewajiban polis yang telah jatuh tempo. Pembayaran polis yang jatuh tempo tersebut menyangkut produk bancassurance, dengan nilai Rp802 miliar.
Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi Publik Arya Sinulingga, menyebutkan salah satu penyebab ambruknya keuangan Jiwasraya adalah akibat penempatan investasi yang salah. Jiwasraya menginvestasikan sebagian dana kelolaannya ke saham "gorengan" untuk meraih cuan.
Saham gorengan adalah istilah untuk saham yang harganya naik dan turun dalam waktu yang singkat dan dipicu oleh isu, bukan berdasarkan kinerja fundamental perusahaan. Berkat naik turun cepat bak rollercoaster, saham gorengan mampu mendatangkan keuntungan renyah dalam waktu singkat. Sebaliknya, kerugian yang didatangkan pun bisa berlipat-lipat apabila salah membaca arah pasar.
Karena itulah, Kementerian BUMN membawa masalah ini ke ranah Kejaksaan Agung untuk meneliti mengenai kebijakan investasi yang dipilih oleh manajemen Jiwasraya. Kementerian BUMN juga menilai terdapat suatu produk yang menawarkan keuntungan lebih tinggi dibandingkan produk lainnya di asuransi ini.
Jumlah dana segar untuk menalangi kebutuhan Jiwasraya jumlahnya dikatakan mencapai Rp32,89 triliun. Permintaan dana talangan pun mencuat ketika direksi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bertemu Komisi XI pada 7 November 2019 lalu. Dalam dokumen yang diberikan Jiwasraya kepada Komisi XI, kebutuhan dana segar tersebut untuk memenuhi dua hal, yakni perseroan membutuhkan dana segar sebesar Rp16,13 triliun demi meningkatkan likuiditas perseroan hingga tahun depan.
Lalu, Jiwasraya juga membutuhkan dana segar hingga Rp32,89 triliun demi menaikkan rasio kecukupan modal sesuai standar minimal, yakni 120% dari modal minimum berbasis risiko (MMBR). Saat ini, rasio kecukupan modal Jiwasraya berada di level memprihatinkan, yakni minus 805%.
Berdasarkan risalah rapat dengar pendapat itu pula, terungkap bahwa neraca keuangan Jiwasraya per kuartal III 2019 jeblok. Jumlah aset hanya Rp25,68 triliun, sementara total kewajiban mencapai Rp49,60 triliun. Ekuitas Jiwasraya pun minus Rp23,92 triliun. Ditambah lagi, ada potensi penurunan aset (impairment) senilai Rp 6,21 triliun.
Dari salinan RDP Komisi XI DPR tercantum, ada empat alternatif penyelamatan Jiwasraya. Pertama, mencari mitra strategis yang dapat menghasilkan dana Rp5 triliun. Kedua, holding asuransi senilai Rp7 triliun. Ketiga, skema finansial reasuransi senilai Rp1 triliun. Keempat, sumber dana lain dari pemegang saham Rp19,89 triliun.