Bagikan:

JAKARTA - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan membentuk panitia kerja (Panja) Jiwasraya untuk mendalami kasus gagal bayar polis yang dialami oleh perusahaan berpelat merah itu. Apalagi, kasus ini sukses menyedot perhatian publik karena kerugiannya memcapai Rp13,7 triliun.

Anggota Komisi VI Rieke Diah Pitaloka mengatakan, hasil rapat internal Komisi VI DPR RI memutuskan pembentukan tiga Panja. Pertama, Panja PT Asuransi Jiwasraya Persero. Kedua, Panja Perdagangan Komoditas. Ketiga, Panja BUMN Energi.

"Dengan keputusan internal Komisi VI tersebut, maka khususnya terkait PT Jiwasraya Persero diharapkan dapat lebih jelas peta masalah dan dapat ditemukan solusi yang tepat," katanya, melalui keterangan tertulis, di Jakarta, Rabu, 15 Januari.

Terkait dengan proses hukum dan penegakan hukum yang semestinya berjalan, kata Rieke, tetap harus berjalan tanpa menunggu keputusan politik di DPR.

"Saya mendukung PPATK untuk segera menelusuri aset para pihak yang terindikasi kuat terlibat dan pihak penegak hukum terkait berani melakukan sita aset para pelaku pengemplang uang nasabah PT Jiwasraya, tanpa pandang bulu," ucapnya.

Penyimpangan dalam Kasus Jiwasraya

Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung menyebut ada empat potensi penyimpangan dalam kasus gagal bayar polis PT Asuransi Jiwasraya. Salah satunya, tidak transparannya hasil dari investasi yang dilakukan manajer investasi. Bisa jadi, ada yang ditutupi atas hasil sebenarnya dari proses investasi.

Kemudian, Martin menyebut, potensi peryimpangan lainnya adalah persekutuan kotor antara manajer investasi dengan emiten publik.

"Bisa saja manajer investasi ke emiten yang dimiliki dirinya, atau terkait dirinya, atau kelompoknya," katanya, dalam Forum Grup Discussion (FGD) Fraksi NasDem terkait Jiwasraya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 15 Januari.

Martin menyebut, adanya potensi pemufakatan jahat antara perusahaan pialang dengan manajer investasi. "Mendorong kliennya agar sering melakukan transaksi jual atau beli," tuturnya.

Terakhir yakni adanya potensi para trader menggoreng saham dengan menaikkan atau menurunkan harga. Menurut Martin, informasi yang diluncurkam semata untuk menaikkan dan menurunkan harga saham.

"Tidak terkait fundamental terkait perusahaan yang terdaftar di bursa," ujarnya.