DKI Klaim Sudah Berdamai dengan Seniman Soal Revitalisasi TIM
JAKARTA - PT Jakarta Propertindo (Jakpro) kembali melanjutkan revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), setelah sempat dimoratorium atau ditunda karena dipermasalahkan sejumlah seniman.
Direktur Utama PT Jakpro Dwi Wahyu Daryoto selaku BUMD DKI Jakarta yang mengerjakan revitalisasi mengklaim pihaknya sudah tak berselisih paham dengan para seniman. Dengan begitu, kegiatan bisa dilanjutkan kembali.
"Revitalisasi sudah dilanjutkan sejak sebelum lebaran. Sekarang sudah enggak ada protes (dari seniman)," kata Dwi saat ditemui di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin, 13 Juli.
Progres revitalisasi TIM sudah masuk pada pembangunan tahap 2, yakni revitalisasi gedung Graha Bakti Budaya (GBB). Gedung GBB akan dibangun kembali dengan rancangan desain modern.
Sementara, pembangunan tahap 1 yang dimulai lebih dulu masih terus berjalan. Pembangunan tersebut meliputi perbaikan gedung parkir, Masjid Amir Hamzah, gedung perpustakaan, Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, selasar publik, galeri seni, area ruliner, kios retail, dan wisma seni.
Beberapa waktu belakangan, Dwi menyebut Jakpro sudah duduk bersama para seniman untuk menampung masukan yang diinginkan oleh para pegiat seni tersebut. Namun, Dwi mengaku tidak bisa memenuhi semua masukan.
"Seniman memberikan masukan soal segala macam. Sudah kita akomodasi misalnya memberi tempat latihan (berkesenian). Tapi, tidak semua kita akomodasi, kalau desain (gedung), enggak bisa," ujar Dwi.
Dwi juga menampik adanya komersialisasi pada revitalisasi TIM. Komersialisasi yang dikhawatirkan para seniman, menurutnya adalah optimalisasi. Kata dia, Jakpro hanya melakukan meminimalisasi pengeluaran biaya modal pembangunan yang dibebankan dari APBD.
"Optimalisasi beda dengan komersialisasi. Kita meminimalisasi biaya yang ditanggung oleh Pemprov. Kan kita harus memutar otak bagaimana supaya biaya rutin pemeliharan enggak menjadi besar dan bersumber dari APBD. Jangan kembali lagi kepada konsep komersialisasi," jelas dia.
Sebagai informasi, mulanya penolakan ini lantang disuarakan beberapa pegiat seni pada diskusi bertajuk "PKJ-TIM Mau Dibawa ke Mana?" yang digelar di Pusat Dokumentasi HB Jassin, TIM, pada Rabu, 20 November 2019. Dalam diskusi tersebut, sejumlah seniman menolak komersialisasi dalam revitalisasi TIM.
Sejumlah seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSPTIM) mengkhawatirkan kenaikan harga sewa gedung dan budaya komersialisasi yang nantinya bakal tumbuh di kawasan tersebut.
Juru Bicara FSPTIM, Noorca Massardi menganggap tetap ada proyeksi keuntungan yang digali dari JakPro. Sebab, dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 63 Tahun 2019, Anies menugaskan Jakpro mengelola prasarana dan sarana di TIM setelah direvitalisasi.
Sudah pasti, menurut dia, Jakpro membutuhkan biaya besar untuk menggantikan penyertaan modal daerah (PMD) yang telah dikeluarkan dari pembangunan revitalisasi hingga biaya perawatan fasilitas di TIM agar dikembalikan ke kas daerah.
Dikhawatirkan, Jakpro akan mengambil keuntungan dengan menaikkan harga sewa gedung pementasan Graha Bhakti Budaya (GBB) setelah direvitalisasi serta besarnya biaya penginapan wisma seni yang akan dibuat.
"Janji itu kan hanya omongan saja. Semua kata-kata belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, Pergub 63 jelas-jelas menyatakan Jakpro mengelola area komersial selama 28 tahun. Mustahil Jakpro tidak mencari untung," kata Noorca.
Pembahasan selisih paham revitalisasi TIM buntu di DPRD DKI, sehingga DPR RI mesti memanggil Gubenrur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mendengarkan duduk perkara.
Dalam pertemuan pada 27 Februari di Gedung DPR RI, Anies berjanji bahwa Jakpro tak akan mengomersialisasi kawasan TIM. Sebab, pengelola konten kesenian yang digelar di kawasan TIM dipegang oleh lembaga kurator Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
"Jakpro mengelola infrastrukturnya karena tidak punya kompetensi dan track record di bidang kesenian. Kalau aktivitas kesenian, kontennya adalah di DKJ dan Dinas Kebudayaan," ucap Anies.