Keengganan Yusril Ihza Mahendra Jadi Dewan Pengawas KPK
JAKARTA - Tinggal hitungan hari, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal melantik Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rencananya, dewan yang lahir dari revisi Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 ini bakal dilantik bersama pimpinan KPK periode 2019-2023.
Ada sejumlah nama kandidat yang muncul di antaranya Yusril Ihza Mahendra yang merupakan ahli hukum tata negara, mantan komisioner KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Marcus Priyo Gunarto, mantan pelaksan tugas komisioner KPK Indriyanto Seno Adji dan mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi.
Yusril pun menanggapi soal namanya yang masuk dalam kandidat Dewan Pengawas KPK. Namun mantan kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019 itu, mengaku tak tertarik dengan jabatan tersebut.
"Saya lebih memilih tetap menjadi advokat professional yang oleh UU Advokat dikategorikan sebagai penegak hukum daripada menjadi Dewas KPK," kata Yusril lewat keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin, 16 Desember.
Selain menegaskan dirinya tak berminat menjadi dewan pengawas KPK, Yusril juga mengatakan kalau pihak Istana Kepresidenan maupun pihak lain belum ada yang membicarakan hal tersebut kepadanya. Karenanya Yusril meyakini kabar dirinya akan dilantik jadi dewan pengawas KPK hanyalah kabar burung, sekalipun sudah banyak yang mengucapkan selamat kepadanya.
"Saya menganggap bahwa disebut-sebutnya nama saya sebagai salah satu calon Dewas KPK hanyalah kabar burung belaka," tegasnya.
Diketahui selain Yusril, ada pula nama Koordinator Staf Khusus Satuan Tugas Nasional Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal Mas Achmad Santosa, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman dan mantan jaksa Tumpak Hatorangan. Nama-nama tersebut dikabarkan akan masuk dalam jajaran Dewan Pengawas KPK.
Terkait sejumlah nama kandidat Dewan Pengawas KPK, Indonesia Corruption Watch (ICW) yang selama ini bersuara keras terkait penolakan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 pun tak mau berkomentar apapun.
Menurutnya, ICW bersama koalisi masyarakat sipil antikorupsi lainnya justru terus memantau jalannya judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi yang mereka ajukan di bulan November 2019 yang lalu. Selain itu, ICW juga tetap pada sikap mereka yang menolak adanya Dewan Pengawas KPK.
"ICW pada prinsipnya menolak semua paket UU KPK baru termasuk printilannya, termasuk dewasnya sehingga kami tetap dalam posisi untuk menunggu hasil JR UU KPK dulu," tegas Koordinator ICW Adnan Topan Husodo ketika dihubungi VOI lewat sambungan telepon, Senin, 16 Desember.
Beberapa waktu yang lalu, Adnan memang pernah menjelaskan alasan penolakan ICW terhadap dewan yang nantinya menggantikan peran pimpinan KPK dalam memberikan izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan.
"Dewan pengawas itu berbahaya jika dicangkokkan dalam tubuh KPK. Meskipun nantinya mereka akan selalu memberikan izin penyadapan tapi potensi bocornya sangat tinggi," ungkapnya menjelaskan alasan tak perlunya dewan pengawas dibentuk di dalam tubuh lembaga antitasuah tersebut.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Praktikno diminta Presiden Jokowi untuk memimpin tim internal mencari nama Dewan Pengawas KPK. Selain Praktikno, ada juga nama Ari Dwipayana, Sukardi Rinakit, Dini Purwono, dan Fadjroel Rachman yang turut melakukan seleksi terhadap sejumlah nama.
Mendekati hari pelantikan, Presiden Jokowi mengaku, masih melihat satu per satu rekam jejak calon Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (dewas KPK).
"Baru proses finalisasi, juga sama melihat satu per satu track record seperti apa integritas semua," kata Jokowi kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 13 Desember.
Pengecekan secara detail dilakukan Jokowi untuk mencegah dewan pengawas itu dibully oleh masyarakat yang tak puas dengan kinerja mereka. "Jangan sampai kita keliru kemudian masyarakat ada yang tidak puas, kemudian (Dewas KPK) dibully. Kasihan," tutupnya.