Sejarah Musik Nusantara dan Jalan Merdeka Ki Hajar Dewantara

JAKARTA - Indonesia punya sejarah panjang perihal musik. Kehadiran ragam alat musik dalam relief Candi Borobudur sejak abad ke-8 jadi salah satu bukti musik adalah keagungan tinggi peradaban nenek moyang. Semangat itu yang dipahami Ki Hajar Dewantara. Baginya musik berelasi dengan banyak hal: politik, agama, sosial, dan budaya, termasuk juga alat memerdekakan bangsa dari belenggu penjajahan.

Adalah Etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst (1891-1960) yang berperan besar menjadikan musik Nusantara dapat dikenal dunia. Ia adalah pelopor yang merekam nama-nama ratusan alat musik Nusantara. Pria kelahiran Groningen ini menghimpunnya dari manuskrip Jawa Kuno. Tiap alat musik yang direkamnya selalu diberi penjalasan panjang lebar mengenai periode awal mula instrumen-instrumen hadir di tengah kaum bumiputra.

Sementara untuk mendapatkan gambaran bentuk-bentuk alat musik, Jaap Kunst banyak memelajarinya dari pahatan di dinding-dinding Candi Borobudur. Bagi Jaap Kunst relief-relief Borobudur laksana sebuah kitab. Relief-relief itu seakan mampu menjabarkan pengetahuan akan masa lalu, terutama terkait musik.

Jaap Kunst (Sumber: Wikimedia Commons)

Corak alat musik yang ditemukan Jaap Kunst tak hanya khas Nusantara, lantaran banyak di antaranya memiliki kesamaan dengan alat-alat musik di India, dan belahan dunia lainnya. Jika dirincikan maka dari 200 relief Candi Borobudur yang berada di 40 panil menampilkan 60-an jenis alat musik. Masing-masing alat musik itu berjenis: petik, tiup, pukul, dan membran.

“Lebih dari 200 relief yang berada di 40 panil menampilkan 60-an jenis alat musik telah menunjukkan bahwa aktivitas musik di tempat itu, 13 abad yang lalu, sejauh ini belum ditemukan ditempat yang lain. Uniknya lagi, sebagian besar alat musik (pada relief) tidak ditemukan lagi di Jawa. Tetapi justru ditemukan menyebar di 34 provinsi di Indonesia dan bahkan ditemukan kemiripannya di 40 negara lain,” ungkap Maestro Musik Indonesia dan salah satu penggagas Sound of Borobudur, Purwatjaraka.

Beberapa di antaranya adalah Ranat Ek (Thailand), Balafon (Gabon), Marimba (Congo/Tanzania), Garantung (Indonesia), Mridagam (India), Ghatam (India), Udu (Nigeria), Bo (China), Bhusya (Nepal), Darbuka (Egypt), Tifa (Indonesia), Small Djembe (Mali/West Africa), Traditional Drum (Srilanka), Muzavu (Tamil), African Drums, Tabla (India), Kendang (Indonesia), Conga (Latin America), Pipa (China), Setar (Iran), Oud (Saudi Arabia), Biwa (Japan), Lute (English), Ud (Turkey), hingga Bowed String (Italia).

Ada juga Dombra (Kazakhstan), Saung Gauk (Myanmar), Ngobi (Algeria), Sakota Yazh (Tamil), Kora (Gambia), Ekidongo (Uganda), Harp, Zeze/Lunzenze (Kenya), One String Zither (Peru), Kse Diev (Cambodia), Kwere (Tanzania), Sheng (China), Saenghwang (Korea), Keledik/Kedire (Indonesia), Sape' (Indonesia), Shio (Japan), Traditional Flute (Europe), Bansuri (India), Medieval Flute (Germany), Daegum (Korea), dan Suling atau seruling (Indonesia).

Alat musik dalam relief Candi Borobudur (Sumber: Museum Volkenkunde Belanda)

Antropolog dari Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih mengamini pendapat itu. Menurutnya, kehadiran pahatan ragam alat musik pada relief Candi Borobudur tak ubah cara lelulur bangsa menunjukkan keagungan, kemasyhuran, dan peradaban tinggi pada zamannya. Untuk itu, tak salah jika gaung Borobudur sebagai pusat musik dunia telah mendunia sejak dulu kala. Disadari atau tidak.

Antropolog kelahiran Yogyakarta itu menambahkan ketika suatu bangsa mulai menyeimbangkan antara level etika dan estetika, Maka hal itu dapat diidentikkan dengan suatu kemajuan dan kesejahteraan. Yang mana, kemajuan itu berwujud keanekaragaman instrumen musik dan teknologi pembuatan alat musik. Ambil contoh, kehadiran alat musik gamelan yang sudah menggunakan teknologi metalurgi yang luar biasa. Artinya, sejak masa itu –abad ke 9—leluhur bangsa telah mampu berpikir melampau zamannya.

"Alat-alat musik yang dipahatkan di sana menunjukkan bahwa masa itu peradaban sudah berjaya tidak hanya menegakkan etika, namun menuntut pada level estetika. Alat-alat musik yang terdapat pada pahatan relief di Candi Borobudur menunjukkan keragaman dan kekayaan instrumen musik yang dikenal, dipakai, dan dinikmati oleh masyarakat dalam tata kehidupannya," cerita Dimas Ario Sumilih, kepada VOI, 14 September.

Ki Hajar Dewantara dan musik

Ki Hajar Dewantara (Sumber: Wikimedia Commons)

Soewardi Soerjaningratatau yang lebih dikenal Ki Hajar Dewantara tak melulu dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Semasa hidupnya, ia dikenal aktif memberikan kritik-kritik tajam kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Bahkan salah satu kritiknya lewat tulisan "Als ik een Nederlander was" atau “Seandainya Aku Seorang Belanda” membuatnya diasingkan ke Negeri Kincir Angin. Di sanalah Soewardi yang radikal mulai mengubah arah gerakannya. Ia memilih berjuang lewat aspek pendidikan dan kebudayaan, terutama musik. Apalagi musik adalah cerminan kemajuan kaum bumiputra sejak dulu kala.

Selepas itu, Soewardi mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 1922. Pun Pangeran Jawa Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian bersalin nama menjadi Ki Hajar Dewantara (guru perantara dewa) sebagai bentuk melepas kebangsawanannya pada 1927. Salah satu yang ditanamkannya di Taman Siswa adalah musik adalah alat untuk melawan, untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

“Pada kurun itu, masyarakat kolonial dan Eropa menganggap musik dari bangsa terjajah sebagai kebudayaan rendah alias ‘tak beradab’. Ki Hadjar merasa perlu memberi perlawanan dalam konteks ini. Apabila musik klasik Barat dipandang sebagai musik mutakhir-tercanggih, maka ia mencoba mengadopsi konsep-konsep di baliknya untuk diaplikasikan pada musik Jawa, gamelan,” tulis Etnomusikolog Aris Setiawan dalam tulisannya di Harian Kedaulatan Rakyat berjudul Ki Hadjar dan Nasionalisme Musik (2018).

Semakin hari, Ki Hajar Dewantara makin intens mengungkap nilai-nilai filosopis dalam musik tradisi gamelan. Ia memandang gamelan sebagai cerminan dari jati diri masyarakat yang halus budi pekertinya. Sebagai bentuk gerakan, ia lalu mengubah format tampilan gamelan menjadi lebih modern, eksklusif, dan parlente. Para pemain gamelan mulai menggunakan jas, dasi, sepatu, layaknya pemain musik Barat. Lewat musik tradisi, Ki Hajar Dewantara hendak berbicara tentang kesetaraan.

Di tangannya, musik tak lagi dimaknai sebagai bunyi. Namun sebagai bentuk perlawanan dan kritik. Musik menjelma menjadi ruang-ruang yang mengguratkan nilai-nilai kemanusiaan hingga kemerdekaan. Ia kemudian menggunakan musik sebagai alat perlawanan yang akan meruntuhkan hagemoni kultural Eropa lewat penjajahan Belanda di Nusantara. Alhasil, kaum bumiputra menjadi sadar tiada yang berbeda antara mereka dan orang Eropa. Semuanya setara.

“Dengan berbuat demikian, Ki Hajar Dewantara, mengubah musik menjadi –mempergunakan istilah Wallerstein—suatu medan tempur ideologis, memperlakukan musik sebagai narasi politis melawan kuasa kolonial. Berkat itu pula, ia dapat berbicara kepada orang Eropa selaku subjek yang mengendalikan narasinya sendiri, tidak sekedar sebagai objek dari orientalisme Eropa. Hanya di dalam sikap batin inilah orang Eropa akan dapat memberikan perhatian kepada, dan menjadi sadar tentang, permasalahan kolonialisme Belanda,” pungkas R. Franki S. NotoSudirdjo dalam buku Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda (2016).

Contoh yang paling nyata dari pandangan Ki Hajar Dewantara tak hanya pada koridor musik tradisi Gamelan. Tapi merasuk dalam musik-musik lainnya. Peletakan fondasi nasionalisme lewat Sumpah Pemuda pada 1928, misalnya.

Dalam momen bersejarah itu, tak cuma ikrar satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa, yaitu Indonesia. Lagu ciptaan Wage Rudolf Soepratman, Indonesia Raya jadi alat untuk memerdekaan bangsa.

“Diperkuat oleh Indonesia Raya, lagu kebangsaan yang disusun dalam idiom musikal barat oleh Wage Rudolf Soepratman, deklarasi ini menjadi praktik aspirasi dan simbol persatuan yang sangat kuat. keberhasilan Sumpah Pemuda dan Indonesia Raya menunjukkan kepada kita bahwa nasionalisme berasal dari kombinasi legitimasi politik dan kekuatan emosional.”

“Dengan demikian, musik, dan lebih luas lagi seni pertunjukan sangat berperan penting dalam menyebarkan identitas nasional. Seringkali, seni pertunjukkan berfungsi sebagai sarana yang penting untuk membangkitkan rasa persatuan,” tutup tokoh penting yang melanggengkan sejarah Gamelan, Sumarsam dalam buku Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global (2018).

*Baca Informasi lain soal MUSIK atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya