Yasonna Laoly: Ada yang Melakukan Upaya agar Maria Pauline Tak Diekstradisi
JAKARTA - Kementerian Hukum dan HAM berhasil menyelesaikan proses ekstradisi Maria Pauline Lumowa yang merupakan buronan perkara pembobolan BNI senilai Rp1,7 triliun dari Serbia. Tetapi, dalam prosesnya sempat ada gangguan untuk menggagalkan upaya pemulangan tersebut.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menuturkan, beberapa gangguan dalam proses ini, di antaranya adalah negara eropa berupaya menggagalkan ekstradisi. Sementara, kuasa hukum Pauline Lumowa mencoba melakukan penyuapan.
"Selama proses ini, ada negara dari Eropa yang mencoba melakukan diplomasi agar beliau tidak diekstradisi ke Indonesia dan ada pengacara beliau yang mencoba melakukan upaya hukum juga, yang menurut, kemarin, saya sebelum berangkat berbicara dengan asisten Menteri Kehakiman di bandara, beliau mengatakan, ada upaya-upaya semacam melakukan suap," ucap Yasona di Jakarta, Kamis, 9 Juli.
Tetapi, pemerintah Serbia tetap berkomiten terhadap keputusannya untuk menyerahkan Maria Pauline Lumowa kepada Pemerintah Indonesia. Alasanya, karena hubungan baik antar kedua negara sudah sangat erat. Sambil Yasonna terus melakukan pendekatan diplomasi hingga wanita yang buron selama 17 tahun itu akhirnya bisa dibawa ke Indonesia.
"Walau tidak punya perjanjian ekstradisi dengan Sebria tapi dengan hubungan baik, tapi dengan pendekatan diplomasi high level akhirnya kita bisa membawa beliau kemari dengan sukses," kata Yasonna.
Baca juga:
Setelah proses ekstradisi rampung, Maria Pauline Lumowa diserahkan ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian, Maria dilimpahkan ke Bareskrim Polri.
"Kemarin sore jam 14.00 WIB diserahkan ke kita melalui prosedur diarahkan ke Dirjen AHU yang menandatangi penerimaannya. Kemudian kita serahkan ke Bareskrim dan beliau dibawa ke pesawat dalam keadaan diborgol dan tetap diborgol untuk alasan keselamatan penerbangan," pungkaw Yasonna.
Maria Pauline Lumowa merupakan buronan pemerintah Indonesia. Sebab, dia merupakan tersangka kasus pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru dengan modus Letter of Credit (L/C) fiktif.
Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengalami kerugian senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau setara Rp 1,7 triliun berdasarkan kurs saat itu. Uang sebanyak itu merupakan pinjaman PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Kecurigaan mulai dirasakan pihak Bank BNI. Sebab, proses peminjaman yang seharusnya cukup sulit karena nominal yang besar justru berjalan sangat mudah. Diduga, PT Gramarindo Group dibantu oleh oknum pegawai Bank BNI karena pengajuan peminjaman itu tetap menyetujui dengan jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp.
Terlebih, beberapa bank yang menjadi penjamin itu bukanlah bank korespondensi Bank BNI. Kecurigaan itu semakin kuat di Juni 2003. Pihak BNI menyelidiki transaksi keuangan PT Gramarindo Group. Hasilnya, perusahaan itu tak pernah melakukan ekspor atau tak sesuai seperti yang dilaporkan saat proses peminjaman.
Hingga akhirnya, pihak BNI melaporakan dugaan L/C fiktif tersebut ke Mabes Polri. Tetapi, Maria Pauline Lumowa justru meninggalkan Indonesia dengan pergi ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Dari hasil penyelidikan, wanita itu diketahui kerap berada di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. Bahkan, diketahui jika Maria sudah menjadi warga negara Belanda sejak tahun 1979. Sehingga, Pemerintah Indonesia mencoba mengajukan permohonan ekstradisi ke Pemerintah Belanda sebanyak dua kali, tepatnya di 2010 dan 2014.
Namun, Pemerintah Belanda menolak permohonan itu. Justru memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda. Hingga akhirnya, wanita itu ditangkap pada 16 Juli 2019, berdasarkan red notice interpol yang diterbitkan pada 2004.