Bupati Kutai Timur dan Istrinya Ditetapkan Sebagai Tersangka Dugaan Suap Pengadaan Infrastruktur
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya --yang menjabat Ketua DPRD Kabupaten Kutai Timur-- Encek UR Firgasih, serta 5 orang lainnya sebagai tersangka dalam dugaan penerimaan suap terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemkab Kutai Timur.
Dari 7 orang yang ditangkap, 5 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap adalah Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kabupaten Kutai Timur Encek UR Firgasih (suami-istri), Kepala Bapenda Musyafa, Kepala BPKAD Suriansyah, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Aswandini.
Sementara 2 lainnya ditetapkan sebagai pihak pemberi suap, yaitu adalah kontraktor yang juga menjadi rekanan sejumlah proyek di wilayah Kutai Timur bernama Aditya Maharani dan Deky Aryanto.
"KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidan korupsi menerima hadiah atau janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemkab Kutai Timur tahun 2019-2020," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 3 Juli.
Nawawi menjelaskan, Ismunandar dan Encek UR Firgasih, serta Musyafa ditangkap di Jakarta tepatnya di sebuah restoran di kawasan FX, Senayan, Kamis, 2 Juli.
"Sekitar pukul 12.00 WIB, EU (Encek UR Firgasih) dan MUS (Musyafa, Kepala Bapenda) dan DF (Dedy Febriansara, staf Bapenda) datang ke Jakarta mengikuti kegiatan sosialisasi pencalonan ISM (Ismunandar) sebagai Calon Bupati Kutai Timur periode 2021-2024. Selanjutnya, sekitar pukul 16.30 WIB ASW (Aswandini, Kadis PU) dan AW (Arif Wibisono, ajudan Bupati) menyusul datang ke Jakarta," jelas dia.
Setelah mendapatkan informasi adanya penggunaan uang yang dikumpulkan dari rekanan Pemkab Kutai Timur yang mengerjakan sejumlah proyek, tim KPK kemudian bergerak. Menurut Nawawi pergerakan ini dilakukan sekitar pukul 18.45 WIB.
"Selanjutnya KPK mengamankan ISM, AW, dan MUS di Restoran FX Jakarta," ungkapnya sambil menambahkan sejumlah orang yang ada di daerah lainnya di Jakarta dan di Sangata, Kutai Timur juga ikut diciduk KPK.
Dari hasil tangkap tangan di sejumlah lokasi tersebut, KPK menemukan sejumlah uang senilai Rp170 juta, beberapa buku tabungan dengan total saldo Rp4,8 miliar, dan sertifikat deposito sebesar Rp1,2 miliar.
Ada uang yang masuk untuk biaya kampanye Ismunandar
Awal perkara ini terjadi pada 11 Juni. Saat itu, KPK menyebut Ismun telah menerima uang dari kontraktor yang juga menjadi rekanan dari Dinas Pekerjaan Umum Kutai Timur, Aditya Maharani. Uang yang diterima mencapai Rp550 juta.
Selain dari Aditya, Ismun juga menerima uang sebesar Rp2,1 miliar dari Deky Aryanto yang juga rekanan dari Dinas Pendidikan Kutai Timur. Penyerahan uang ini dilakukan kepada Kepala BPKAD Kutim Suriansyah, Kepala Bapenda Musyafa, dan Ketua DPRD Kutim Encek UR Firagsih.
Setelah penerimaan uang dilakukan, Musyafa kemudian melakukan penyetoran ke sejumlah rekening yaitu atas nama dirinya di Bank Mandiri Syariah sebesar Rp400 juta, Bank Mandiri sebesar Rp900 juta, dan Bank Mega Rp800 juta.
"Selanjutnya diketahui terdapat pembayaran untuk kepentingan ISM melalui rekening atas nama MUS," ungkap Nawawi.
Adapun uang yang keluar digunakan untuk membayar pembelian mobil Isuzu Elf sebesar Rp510 juta, pembelian tiket ke Jakarta sebesar Rp33 juta, dan untuk pembayara hotel di Jakarta sebesar Rp15,2 juta.
Baca juga:
Sebelum penerimaan itu, KPK juga menyebut Ismundar dan tersangka penerima suap lainnya telah menerima uang Tunjangan Hari Raya dari Aditya sebesar Rp100 juta pada bulan Mei.
Aditya, kata Nawawi, juga melakukan transfer ke rekening bank milik Aini sebesar Rp125 juta. Adapun uang ini digunakan untuk kepentingan kampanye Ismun yang merupakan calon petahana Bupati Kutai Timur.
KPK juga menduga masih ada peneriman sejumlah uang dari rekanan lainnya kepada Ismunandar. Uang tersebut diberikan dengan tujuan beragam.
Kepada Ismun, uang ini diberikan agar ia bisa menjamin anggaran rekanan yang ditunjuk untuk mengerjakan proyek di wilayah tersebut tidak mendapatkan potongan.
Sementara pemberian suap kepada Encek dilakukan agar Ketua DPRD tersebut bisa melakukan intervensi dalam penunjukkan pemenang pekerjaan di Pemkab Kutim.
Selanjutnya, Kepala Bapenda Musyafa juga diduga berperan untuk melakukan intervensi tekait penentuan pemenang proyek di Dinas Pendidikan dan PU di wilayah itu.
Kepala BPKAD Suriansyah berperan mengatur dan merima uang dari tiap rekanan, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Aswandini diduga menerima uang karena dialah yang mengatur jatah pembagian proyek.
Atas perbuatannya, sebagai pihak penerima Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kutai Timur Encek UR Firgasih; Kepala Bapenda Musyafa; Kepala BPKAD Suriansyah; dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Aswandini disangkakan melanggar Pasal 12 ayat 1 (1) huruf A atau B Pasal 11 UU Nomor 31 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sementara sebagai pihak pemberi, Aditya Maharani dan Deky Aryanto diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf A atau B Pasal 13 UU Nomor 31 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ketujuh tersangka ini ditahan di Rutan yang berbeda. Namun, KPK memastikan mereka akan diisolasi mandiri terlebih dahulu untuk mencegah penyebaran COVID-19 di dalam rutan.
"Kegiatan tangkap tangan ini sebagai upaya KPK untuk mewujudkan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang bersih, transparan, dan antikorupsi. KPK mengingatkan penyelenggara negara untuk menghindari praktik korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa dengan tujuan memperoleh keuntungan materi," pungkasnya.