Ada Suku Terisolasi di Brasil yang Terancam COVID-19 setelah Masuknya Bantuan Militer
JAKARTA - Para pemimpin suku Yanomami, kelompok yang mengisolasi diri di Brasil, mengeluhkan sikap militer yang hendak membantu mereka. Bukan apa-apa. Misi militer melindungi mereka dari COVID-19 justru dinilai membawa risiko infeksi lebih besar kepada masyarakat Yanomami. Militer, dikabarkan membawa wartawan, yang artinya para anggota suku akan berkontak dengan orang luar yang tidak diketahui keadaannya sehat atau tidak.
Melansir Reuters, Jumat, 3 Juli, jaksa federal mengatakan pihaknya akan menyelidiki kunjungan tersebut karena dianggap mengabaikan keinginan komunitas Yanomami untuk tetap terisolasi dari masyarakat luar. Misi militer itu juga dianggap melanggar aturan physical distancing dan juga kontroversial karena mendistribusikan klorokuin kepada penduduk.
Kunjungan tersebut terjadi pada Selasa, 30 Juni dan Rabu, 1 Juli. Para tentara membawa perbekalan medis dengan helikopter ke pos-pos di perbatasan dengan Venezuela. Mereka lalu mengumpulkan keluarga dari suku Yanomami untuk melakukan uji COVID-19. Kegiatan tersebut diliput oleh wartawan.
"Kami tidak ingin dijadikan propaganda pemerintah. Kami tidak ingin orang luar datang ke sini untuk mengambil foto anak-anak kami. Kunjungan itu mengejutkan kami,” kata Parana Yanomami.
Yanomami adalah suku besar terakhir yang hidup dalam isolasi dan tinggal di area yang memiliki ukuran sebesar Indiana, Amerika Serikat (AS). Area rempat mereka tinggal diserbu selama beberapa dekade oleh penambang emas ilegal yang telah membawa penyakit fatal bagi rakyat mereka.
Baca juga:
Roberto Yanomami, kepala komunitas di Surucucu, mengatakan pemerintah mengatur perjalanan itu tanpa berkonsultasi dengan para pemimpin suku.
“Kami khawatir orang asing datang ke sini dan meninggalkan COVID-19. Orang-orang Yanomami dipanggil ke dalam garnisun tanpa penjelasan,” katanya dalam sebuah pesan video, wajahnya dicat hitam dengan pewarna dari buah pohon genipapo.
Terkait misi militer tersebut, Menteri Pertahanan Fernando Azevedo mengatakan bahwa pandemi itu terkendali di antara suku Yanomami karena petugas medis tidak mendeteksi adanya kasus. Namun komentar tersebut ditolak oleh dewan kesehatan Yanomami (CONDISI) yang mengatakan ada lebih dari 160 kasus terkonfirmasi dan lima di antaranya meninggal dunia. Suku Yanomami memiliki sekitar 27 ribu orang anggota.
Dewan meminta jaksa penuntut umum untuk menyelidiki kunjungan dan pengiriman klorokuin, obat anti-malaria yang kontroversial digunakan dalam merawat pasien COVID-19. Pihak jaksa penuntut juga mengatakan bahwa sikap kelompok militer tersebut justru tidak melindungi Yanomami dari risiko penularan COVID-19.