Eksklusif, Soal Konspirasi COVID-19, Daeng M. Faqih: Dokter Tak Masuk Ke Ranah Itu  

Hampir dua tahun coronavirus disease 2019 atau yang biasa disingkat dengan COVID-19 mewabah dan membuat banyak orang terkapar tak berdaya serta sekian banyak yang harus kehilangan nyawa. Beragam teori konspirasi muncul dibalik COVID-19 ini. Namun Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H.,  dengan tegas mengatakan kalau dokter tak mau masuk ke ranah itu. Fokus mereka pada upaya pencegahan dan penyembuhan orang yang terpapar virus ini. Kepada tim VOI dia berbagi pengalaman dalam menangani pandemi corona ini.

***

Tak bisa dipungkiri COVID-19 sudah mengubah tatanan dunia. Berbagai sektor kehidupan mulai dari kesehatan, ekonomi, pariwisata, transportasi, dan lain sebagainya terpengaruh. Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar karena terdampak pandemi ini. Dampak lainnya pertumbuhan ekonomi melambat, ada pemutusan hubungan kerja massal terjadi di berbagai perusahaan yang tersebar di belahan dunia. Dampak COVID-19 ini begitu dahsyat.

Ironisnya meski sudah terpampang nyata begitu banyak bukti bagaimana dahsyatnya serangan virus ini, masih ada orang yang tak percaya pada keberadaan COVID-19. Mereka bukan hanya dari kalangan awam tetapi juga dari kalangan terpelajar dan bahkan pernah mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran. Inilah yang disayangkan oleh dr. Daeng Mohammad Faqih, S,H., M.H. “Virus ini  nyata ada meski tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Sebagaimana virus-virus sebelumnya memang secara fisik amat kecil, jadi memang tak bisa juga dilihat kalau tidak dengan alat. Tetapi dia ada. Buktinya sekian banyak orang sudah terpapar, sekian banyak orang harus kehilangan nyawa. Namun demikian sekian banyak juga yang berhasil sembuh dari virus ini,” terangnya.

Selain itu begitu bermunculan pula teori konspirasi soal COVID-19 ini. Di awal pandemi muncul pertanyaan apakah virus ini buatan atau memang muncul secara alamiah. Ada juga dugaan kalau virus ini dibuat oleh negara tertentu yang bertujuan menghancurkan  negara lain. Ada lain teori yang mengemuka kalau virus ini sengaja dibuat oleh perusahaan farmasi dengan tujuan membuat vaksin yang bisa dipasarkan setelah pandemi mewabah. Motif ekonomi diduga ada dibalik kemunculan virus ini. Dan masih banyak lagi teori lain yang uniknya banyak orang yang mempercainya.

Saat ditanyakan persoalan teori konspirasi yang menyertai munculnya COVID-19 ini Daeng tak mau masuk ke ranah itu. “Sebagai tenaga kesehatan kami tidak masuk ke ranah itu. Fokus kami pada pencegahan dan penyembuhan orang-orang yang sudah terpapar. Pencegahan dengan mengajurkan semua orang untuk menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Lalu mengikuti vaksinasi yang sekarang sedang digalakkan oleh pemerintah dan pengobatan dilakukan untuk yang sudah terpapar,” katanya.

Sampai berita ini diunggah (update terakhir 1 Agustus), berdasarkan data resmi dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19, secara global virus ini sudah merambah ke 223 negara. Jumlah orang yang terkonfirmasi sebanyak 196.553.009, sedangkan yang meninggal dunia sebanyak 4.200.412 jiwa. Sementara itu untuk lingkup Indonesia yang terkonfirmasi positif sebanyak 3.440.396. Dari jumlah itu yang dilaporkan sembuh sebanyak 2.809.538 orang. Dan yang meninggal dunia sebanyak 95.723 orang.

Daeng optimis sebaran COVID-19 ini bisa diminimalisir jika semua pihak patuh dalam menjalankan protokol kesehatan; menggunakan masker, mencuci tangan (dengan sabun) secara rutin, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas. Langkah ini dapat mencegah penularan dan menyebaran COVID-19.  Kepada Iqbal Irsyad dan Edy Suherli dari VOI, yang mewawancarainya secara secara daring belum lama berselang, Daeng M. Faqih berbicara banyak seputar penanganan dan pencegahan COVID-19. Inilah petikan selengkapnya.

dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagaimana Anda melihat fenomena pandemi COVID-19 yang sudah hampir dua tahun melanda Indonesia dan juga dunia?

Yang perlu disadari oleh kita semua sampai setahun setelah virus ini mewabah di Indonesia belum ada landai seperti yang diharapkan. Artinya ancaman dari virus ini masih ada bahkan ada kecendrungan makin besar. Kalau dikatakan adanya gelombang kedua mungkin sekali dengan munculnya varian delta.  Dalam kondisi seperti ini kita tidak boleh lengah soalnya kejadian yang sekarang ini luar biasa, protokol kesehatan tetap harus dijalankan. Beberapa waktu lalu kita sempat lengah dengan abai melakukan prokes.

Menurut Anda COVID-19 ini alami atau buatan manusia?

Di awal-awal pandemi sudah muncul pertanyaan apakah virus ini  alami atau buatan manusia atau ada konspirasi lainnya. Terus terang kami dari orang medis, tidak mempertanyakan dan tidak berusaha menjawab. Soal itu dimensinya sudah masalah politis, persaingan ekonomi dan lain-lain.  Kita tidak masuk ke ranah itu, kita masuk hanya pada soal kesehatan saja. Bahwa virus ini memang nyata ada, apakah itu konspirasi atau bukan, buatan virus ini alami atau buatan, realitanya virus ini ada kalau dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Orang yang sudah terkena sudah jutaan orang, yang mati sudah ribuan. Sekali lagi kita tidak concern apakah virus ini alami atau buatan, apakah virus ini hasil konspirasi atau bukan. Kita ingin mengatakan kepada mayarakat faktanya virus ini ada dan membahayakan, itu saja yang harus dipahami masyarakat.  

Kalau dipertanyakan karena tidak kelihatan saya kira rata-rata mikro-organisme itu tidak kasat mata. Siapa yang bisa melihat kuman TBC? tidak ada. Baru bisa dilihat dengan alat kedokteran yang canggih. Semua virus itu kecil sekali ukuran.  Kalau virus corona ini dipersoalkan karena tidak terlihat, berarti menafikan keilmuan yang sudah kita dapatkan selama ini.

Ada fakta kalau dibalik COVID-19 ini terdapat bisnis farmasi yang nilainya amat besar, inilah mengapa ada yang beranggapan semua ini adalah konspirasi, Anda melihatnya seperti apa?

Setiap pada penyakit atau kuman pemerintah berusaha mencarikan  obatnya. Lihat dulu berapa dana yang dikeluarkan untuk membeli vaksin BCG, mengobati obat TBC, vaksin meningitis untuk jamaah haji dan lain sebagainya. Pemerintah memang mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Tapi itu tidak serta merta dikatakan sebuah konspirasi. Bahwa dari keadaan ini orang berebut potensi pasar karena bisa memproduksi obat atau vaksinya itu hal lain. Kita orang kesehatan berpikirnya  bakteri atau virus ini harus diatasi apakah dengan obat, vaksin atau dengan yang lain.

dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Soal vaksin Nusantara seperti apa Anda melihatnya?

Kita mendukung adanya inovasi vaksin lokal seperti vaksin Nusantara, vaksin Merah Putih dan sebagainya. Kita mendorong inovasi dalam negeri agar bisa mandiri. Masalah vaksin Nusantara itu bukan persoalan inovasinya, tapi persoalan prosedurnya yang tidak dilakukan secara standar. Kalau vaksin Merah Putih karena dilaporkan bahwa apa prosedurnya sudah disesuaikan dengan prosedur standar tidak pernah ada protes. Kita minta kepada pemerintah untuk mendorong dan memfasilitasi inovasi anak bangsa ini. Dari pandemi ini kita bisa mengambil hikmahnya, kalau dunia industri kesehatan kita ternyata tidak mandiri.  Banyak perlatan kesehatan dan obat-obatan yang bergantung pada negara lain. Saat pandemi di mana negara itu membutuhkan juga, pasokan untuk kita jadi terhambat. Sekarang kita harus dukung produksi alat kesehatan dan obat-obatan di dalam negeri, setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi kalau mau ekspor silahkan. 

Karena pandemi corona ini kita kurang dokter dan nakes lainnya, apa pendapat Anda soal percepatan lulus mahasiswa kedokteran atau perawan Kesehatan?

Sekarang ini emergency, kita tidak bisa menggunakan cara berpikir dalam keadaan normal. Bukan hanya kita, di Amerika pun dilakukan percepatan kelulusan mahasiswa kedokteran.  Kita sudah sampaikan ke seluruh dokter spesialis maupun bukan,  harus bersiap-siap untuk menjadi tenaga yang akan menolong dan merawat pasien COVID-19.  Karena sekarang jumlahnya berjubel tidak bisa kita hanya bebankan ke dokter paru dokter penyakit dalam saja.  Kita sudah mencanangkan gerakan dokter semesta. Semua dokter kita berikan kewenangan untuk melakukan penangani pasien. Tentunya melalui pelatihan-pelatihan terlebih dahulu.  Kalau ditanya siapa  yang lebih lebih tahu tentang penyakit ini? Penyakit ini baru tidak ada satupun yang lebih tahu, jadi semua dokter juga baru mengetahui. 

Soal tele-medicine seperti apa Anda melihatnya?

Di awal pandemi kita mengeluarkan instruksi kepada pada dokter untuk mengurangi tatap muka dengan pasien, kecuali yang penting sekali. Solusinya ya  tele-medicine atau konsultasi jarak jauh secara virtual. Beberapa aplikasi kesehatan berbasis android dan IOS juga membuat layanan konsutasi. Silahkan masyarakat memanfaatkan ini, tidak terpaku harus bertemu dengan dokter secara langsung.

Sebenarnya rasio dokter di Indonesia seperti apa sih, dalam normal berapa idealnya?

Kalau masa pandemi ini sebenarnya enggak boleh satu lebih dari 1 banding 5, itu sudah sudah boleh dikatakan optimal. Ya tapi kalau isoman satu banding 10 masih oke. Kalau sekarang kita itu 1 banding 1.500. Perbandingan itu kan tergantung ini tergantung inflasi di suatu daerah kalau kalau kalau dari angka inflasi di Indonesia itu masih satu banding 5.000 karena BPJS Kesehatan di Indonesia menerapkan satu dokter itu mengampu  5.000 pasien.

Pilihannya sekarang vaksinasi masif atau ada pilihan lain?

Yang perlu dilakukan selain vaksinasi adalah protokol kesehatan, pakai masker, mencuci tangan dengan sabun, tidak berkerumun, dan menjaga jarak.  Perlu juga protokol memodifikasi lingkungan, benda-benda harus disterilisasi, udara harus dibersihkan agar tidak tercipta cluster baru di perkantoran. Badan kita harus memiliki imunitas, baik dengan vaksin yang dibentuk dengan vaksinasi atau dengan vitamin dan empon-empon atau jamu dengan catatan sudah ada keterangan dari BPOM ya. Semakin semua publik punya imunitas baik sebaik baik. Kita semakin terproteksi dari COVID-19 karena sudah terbentuk herd immunity (kekebalan kelompok). Semua vaksin yang direkomendasikan pemerintah baik, dan potensinya cukup. Mampu memberikan imunitas daripada yang tidak mendapat vaksin.

Patuh pada Orangtua, Daeng M. Faqih Belajar di Fakultas Kedokteran 

dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Meski sudah belajar di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H., akhirnya mengalah. Setahun menimba ilmu di jurusan Jurusan Kimia,  ia mundur. Padahal bukan perkara gampang untuk masuk dan kuliah kampus bergensi itu.  Daeng diterima lewat jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) tahun 1988.  Setelah mundur, ia mendaftar lagi di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.  

Semua karena ada wasiat dari ayahnya sebelum pergi untuk selamanya. Mendiang ayahnya menginginkan Daeng menjadi seorang dokter.  Setelah sang ayah pergi ibunya juga menginginkan hal yang sama. Secara khusus ibunya  menyampaikan pesan ayahnya dan pemintaan dia untuk kuliah di Fakultas Kedokteran.

Walau pun hal itu bukan cita-citanya dari lubuk hatinya, namun dengan patuh dan bakti ia menuruti keinginan orangtuanya. ia dengan ikhlas menuruti kemauan orangtuanya. Padahal Daeng sudah bercinta-cinta menjadi seorang pakar dalam bidang nuklir.

Sebagai anak, Daeng sepertinya paham kalau dia harus berbakti kepada orangtua yang sudah melahirkan dan membesarkan. Apalagi keinginan orangtuanya bukan hal yang diluar kemapuannya. Orangtuanya menginginkan Daeng menjadi seorang dokter. “Orang tua saya ingin ada salah seorang anaknya yang menjadi seorang dokter. Makanya ibu saya meminta saya untuk kuliah di kedokteran,” kata anak keempat dari tujuh bersaudara ini.

dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Tahun 1989, Daeng mendaftar pada panitia Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Jurusan yang dipilih sesuai dengan keinginan orang tuanya. Setelah melewati proses seleksi pria kelahiran Pamekasan, Madura, Jawa Timur, 30 Juni 1969 ini dinyatakan lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. “Alhamdulillah saya berhasil lulus di Fakultas Kedokteran di Universitas Brawijaya Malang,” katanya.

Meski bukan tidak kuliah berdasarkan cita-citanya, namun bukan berarti Daeng hanya main-main. Ia serius mengikuti proses kuliah hingga akhirnya ia menyandang gelar sebagai seorang dokter. Jalan panjang untuk menyelesaikan kuliah di Fakultas Kedokteran ia ikuti hingga tuntas dan dia dilantik sebagai seorang dokter.

Selanjutnya aktivitasnya berkutat dalam dunia kesehatan. Menjadi dokter di rumah sakit, membuka praktik dan seluk-beluk di dunia kedokteran lainnya ia jalani.

Sejak muda Daeng memang sudah suka berorganisasi. Jadi saat menjadi mahasiswa dia tak hanya kuliah, juga aktif dalam dunia organisasi kemahasiswaan. Dirinya tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain itu ia juga aktif di  Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI). Tak tanggung-tanggung di organisasi ini ia berhasil menjadi  Ketua Badan Koordinasi Nasional LKMI periode 1997-1999. Kesukaan berorganisasi tak pernah surut sampai ia menjadi dokter dan hingga kini menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2018-2021.

Daeng juga tercatat aktif di organisasi Badan Rumah Sakit Indonesia masa bakti 2014-2017. Daeng pernah menjadi bagian Tim Kendali Mutu Kendali Biaya Pusat dan Dewan Pembina Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Saat itu ia menemukan banyak persoalan hukum yang dialami rumah sakit. Ini juga yang menjadi penyebab mengapa dia melanjutkan kuliah di bidang hukum. Daeng mengambil kuliah lagi dalam bidang hukum dan sampai ia meraih gelar Magister Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar tahun 2011.

dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Meski menimba ilmu juga dalam bidang hukum Daeng menolak kalau dikatakan berpaling dari dunia kedokteran. Buktinya dia masih berpraktik dan berorganisasi dalam dunia kedokteran. Baginya profesi dokter sudah melekat pada dirinya. Soal ilmu hukum yang ditekuninya bahkan sampai ke jenjang S2, adalah tambahan ilmu yang melengkapi khazanah keilmuannya. Dan ilmu hukum yang dikuasainya amat berguna saat ada persoalan kedokteran bersinggungan dengan perkara dan kasus hukum.

Salah satu persoalan yang menarik terakhir di dunia kedokteran adalah munculnya dr. Lois Owien yang dengan terang-terangan mengaku tak percaya dengan adanya virus COVID-19 yang sudah menyebar seantero dunia bahkan dunia dinyatakan terjadi pandemi corona. Padahal sudah banyak jiwa yang sudah gugur dan tak kuasa mendapat serangan COVID-19.

>

“Sebenarnya secara keorganisasian kami dari IDI tidak ada kewajiban lagi menangani persoalan ini. Karena yang bersangkutan bukan lagi anggota IDI. Dulu memang dia pernah tercatat sebagai anggota. Tapi dia tidak memperpajang keanggotaannya. Namun karena persoalan ini mendapat perhatian banyak pihak akhirnya IDI melakukan pemanggilan untuk meminta klarifikasi. Belum sempat dia memenuhi panggilan pihak kepolisian sudah melakukan panggilan. Kita tunggu saja bagaimana proses hukum yang akan terjadi pada dr.Lois Owien yang  diduga menyebarkan hoaks atau berita bohong melalui media sosial,” papar dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H.

“Sekarang ini emergency, kita tidak bisa menggunakan cara berpikir dalam keadaan normal. Bukan hanya kita, di Amerika pun dilakukan percepatan kelulusan mahasiswa kedokteran.  Kita sudah sampaikan ke seluruh dokter spesialis maupun bukan,  harus bersiap-siap untuk menjadi tenaga yang akan menolong dan merawat pasien COVID-19.”

dr. Daeng M. Faqih, S.H., M.H.